Timeless Stupidity

Han Abadie
7 min readMay 12, 2024

--

Photo by Womanizer Toys on Unsplash

Praktik hubungan seks di luar nikah merupakan topik yang sangat seksi dan tak lekang waktu untuk terus diperdebatkan hingga berulang-ulang. Polemik mengenai hal itu tampaknya akan terus terjadi di media sosial. Berbagai manusia dengan berbagai latar belakangnya pun telah memberikan pendapatnya dalam memandang persoalan tersebut.

Akan tetapi, saya tidak akan membahas itu, saya hanya akan membahas aspek-aspek fundamentalnya. Seperti yang terjadi pada kasus hangat ini, yang masih beberapa jam lalu (semoga tidak dihapus): Thread on X

Supaya tak perlu beralih ke platform lain. Singkat cerita, sang penulis thread bercerita bahwa teman perempuannya telah dihamili oleh pacarnya, dan ia menyayangkan lantaran pacar temannya itu tak mau bertanggung jawab atas kehamilan perempuan tersebut. Lalu, sebagai upaya membantu temannya tersebut, ia mencoba menulis cerita di thread X agar mendapatkan atensi sekaligus mencari solusi dengan meminta bantuan dan pendapat publik.

Melihat fenomena itu, respon saya sudah bukan kesal, marah, atau belingsatan lagi sebagaimana pengguna X lainnya. Karena sejak awal saya telah memahami bahwa persoalannya nyaris selalu disebabkan oleh ketololan kedua belah pihak. Well, saya tidak bicara soal moral lagi sekarang, karena mau bagaimanapun juga, perbuatan itu tentunya memang tak dapat dibenarkan.

Pada intinya, melakukan seks sebelum menikah adalah suatu kesalahan yang mutlak.

Mungkin saja ada orang yang berargumen senada dengan:

“my body my choice”

“my body my rule”

“yang penting mah gada yang dirugikan”

“yang penting kan c0Ns3nT”

“asal siap resiko aja sih”.

Iya memang, silakan saja jika memang sudah tak sanggup lagi menahan nafsu itu, toh saya pun tak punya hak untuk melarangnya.

Hanya saja, tolong berkatalah jujur bahwa perbuatan itu memang tak dapat dibenarkan.

Lagi pula, kita juga kerap melakukan kesalahan meski kita tau itu salah, kan?

Seperti menerobos lampu merah, berbicara kotor, buang sampah sembarangan, atau berkata bohong, misalnya.

Ya itu kan beda, Han.

Apa bedanya?

Dasar persoalannya sama: mengerti bila itu salah, dan tetap saja melakukannya, kan itu intinya. Sudahlah, toh jujur mengakui kesalahan itu hal yang baik. Maka, akui saja dan katakan:

“Ya memang saya tidak taat dengan Tuhan”

“Lagi pula saya tak sanggup lagi menahan berahi, dan memang enak sekali saat melakukannya”

“Saya khilaf, dan iman saya sedang melemah saat itu”

Biasakanlah jujur, tidak apa-apa, toh (jika belum saatnya mati) pintu tobat tetap akan terbuka lebar. Kesalahan yang sudah jelas salahnya itu tak usah dibenarkan.

Begini, kita tentu paham betul saat melakukan seks, akan ada kemungkinan hamil janin manusia dalam kandungan setelah bersenggama.

Sepakat?

Tentunya, kita tidak akan berpikir bahwa, setelah melakukan seks, akan ada kemungkinan keluar sebuah velg mobil, kulkas empat pintu, tas Hermes, atau uang senilai 271 triliun dari rahimnya, misalkan. Sebab, yang keluar dari rahim sudah pasti adalah sebuah bayi manusia.

Sepakat?

Setelah kita menyepakati hal itu, maka, kita mesti memahami bahwa, setelah lahirnya bayi manusia dari darah daging kita, sudah seharusnya kita siap dengan konsekuensi: menanggung nasib nyawa bayi tersebut, karena (Tuhan dan perantara) kitalah yang telah membuatnya lahir dan hidup di dunia.

Maka, sudah sepantasnya kita—yang juga sesama manusia—paham untuk bertanggung jawab atas nasib kehidupan bayi manusia itu.

Betul?

Pada kasus dalam thread X itu, (barangkali) seseorang yang sudah tak sanggup lagi menahan berahinya, seketika akan menjadi dungu karena menuruti hawa nafsunya. Mereka seolah-olah telah menanggalkan kemampuan berlogikanya, dan seketika lupa dengan konsekuensi dari melakukan persetubuhan. Kemampuan otak untuk merasionalisasi bahwa adanya kemungkinan besar setelah bersetubuh adalah: pihak wanita akan hamil bayi manusia. Saat itu juga menjadi lumpuh karena tak kuasa menahan nafsu syahwat yang memuncak.

Tapi sebenarnya, untuk mencegah kehamilan itu kan bisa diatasi dengan menggunakan caps, Han.

Iya, betul, Maka, terdapat kemungkinan pencegahan kehamilan hingga 98%.

Namun, tetap saja, 98% itu bukanlah 100%, cara itu tak membuat kehamilan menjadi mustahil. Kemungkinan wanita hamil setelah melakukan seks meski menggunakan kondom itu tetap saja ada. Dalam praktiknya, tetap saja adanya kemungkinan kondom bocor, sobek, lepas, atau melubernya cairan precum yang di dalamnya juga mengandung spermatozoa saat masih di dalam liang vagina, yang kemudian memungkinkan terjadinya proses pembuahan, dan terjadilah kehamilan.

Naif sekali jika menggantungkan pencegahan itu dengan hanya menggunakan caps. Solusi paling efektif yang mutlak tak terbantahkan untuk mencegah kehamilan adalah: dengan tidak melakukan hubungan seks.

Lupakan soal bayi tabung, dan pemerkosaan, saya tidak membahas itu.

Masalahnya, pada kasus di thread X tersebut, nyatanya, kedua praktisi itu tak ada yang menggunakan caps saat bersenggama. Maka, sudah pasti kemungkinan terjadinya kehamilan akan jauh lebih besar daripada jika menggunakan caps.

Inti persoalan pada kasus-kasus serupa dengan yang saya paparkan di atas adalah, tidak adanya tanggung jawab dari pihak laki-laki setelah terjadi kebobolan. Si laki-laki tak mau bertanggung jawab, meskipun si perempuan telah memohon-mohon agar si laki-laki itu mau bertanggung jawab untuk menikahinya.

Beberapa orang mungkin berpikir bahwa, si laki-laki harus bertanggung jawab menikahi si perempuan tersebut. Baiklah jika demikian, saya sungguh ingin bertanya:

Memangnya, jika mereka dinikahkan, apakah si laki-laki akan mau bertanggung jawab mengurusnya?

Sementara itu, setelah melakukan seks dengan pacarnya, alih-alih bertanggung jawab atas kehamilannya, nyatanya dia justru meninggalkannya. Lalu apabila dipaksa agar mau menikahi perempuan yang dihamilinya, apakah hal itu akan menjamin laki-laki itu bakal mau mengurusnya?

Mengingat dari sepenglihatan saya terhadap kelakuan si laki-laki itu, saya pesimis. Meragukan sekali jika sebelumnya ia bahkan tak mau bertanggung jawab, kemudian saat dipaksa menikahinya, lantas berubah menjadi mau bertanggung jawab. Sangatlah memungkinkan si laki-laki itu akan enggan bertanggung jawab meski telah menjadi istrinya.

Lalu apa solusinya, Han?

Saya tidak membahas solusinya, itu urusan mereka, dan saya sama sekali tidak punya tanggung jawab untuk memberikan solusi. Lagi pula, banyak orang juga telah memberikan ide dan saran untuk solusinya di kolom komentar. Saya hanya membahas secara fundamental supaya kejadian serupa tidak terulang kembali dan terus menjadi polemik yang tak berkesudahan.

Lebih anehnya lagi, dalam cerita di thread X tersebut, si perempuan itu tetap bersikeras menyuruh temannya untuk tetap menjaga identitas laki-laki yang telah menghamilinya agar tak terkuak.

Hah? Apa urusannya?

Dia sendiri yang ingin laki-lakinya diadili, tapi tingkah dan perbuatannya justru tidak selaras dengan keinginannya.

Saya memandang bahwa keduanya adalah pelaku, dan satu-satunya korban dari kepuasan nafsu sesaat itu adalah anak yang dikandungnya. Kelak di masa depan, seiring berjalannya waktu, ayah dan ibu mereka boleh jadi sudah berlapang dada menerima pandangan ganjil dan cercaan masyarakat sekitar karena telah melahirkan anak haram. Sementara itu, si bayi semenjak dalam kandungan sudah dihadapkan konsekuensi dicap dan dipandang sebagai anak haram oleh dunianya kelak, saat di sekolah, desa, keluarga besar, teman-temannya dan lain-lain.

Baiklah, sebenarnya tidak ada yang namanya anak haram, karena bagaimanapun juga, bayi itu bukan terlahir haram karena kehendaknya sendiri, melainkan (secara tidak langsung) itu karena kehendak bodoh kedua orang tuanya. Bayi itu memang bukanlah anak haram, akan tetapi pada faktanya, bayi itu merupakan hasil dari hubungan yang haram, dan pandangan itulah yang ada di benak masyarakat saat dia lahir dan bertumbuh nanti, mendapat cercaan, makian, cemooh di usianya yang masih belia, dan tak tahu apa-apa. Kasihan sekali.

Lupakan soal stoikisme, bayi itu tak akan sanggup dijejali prinsip stoikisme di umurnya yang bahkan tak bisa melakukan apapun selain hanya menangis. Bapak ibunya mana mungkin berpikir sampai situ, mengingat mereka saja tak mampu menahan syahwatnya untuk tak bersenggama. Saya yakin betul, apabila tidak terjadi kehamilan, pasti mereka akan terus lanjut bersenggama, lagi dan lagi. Cuma karena kebobolan saja hal ini menjadi persoalan. Padahal, akar dari permasalahannya adalah jawaban dari pertanyaan:

Kenapa perempuan itu mesti mau diajak bersetubuh dengan laki-laki yang bahkan tak menjalin ikatan yang sah dengannya dan tanpa jaminan apapun?

Kiranya, orang yang masih dapat menggunakan akal sehatnya dengan baik akan mengerti jawabannya, yang tidak lain tidak bukan adalah: karena sudah terlanjur dibutakan oleh cinta.

Kasus yang demikian itu, lain halnya dengan persetubuhan rudapaksa; bukan juga dibius kemudian diperkosa saat tak sadarkan diri, bukan yang begitu. Melainkan, mereka berdua melakukannya atas dasar mau sama mau alias konsensual. Laki-laki yang tak bertanggung jawab memanglah mutlak salah, akan tetapi jangan naif dengan menganggap bahwa perempuan itu tak bersalah sama sekali karena menerima ajakan bersenggama.

Sementara itu, sebetulnya pihak perempuan bisa saja menolak ajakan tersebut. Tapi kenapa tidak kukuh menolak? Kenapa malah ujungnya jadi menerima ajakan tersebut?

Saya pikir, semestinya pihak perempuan tetap kukuh dengan penolakannya. Sebetulnya, ia bahkan bisa—dengan kemampuan rasionalitasnya—segera meninggalkan laki-laki itu jauh-jauh, demi keselamatannya sendiri, sebelum pada akhirnya dirinya terbujuk bersedia melakukannya. Akan tetapi, tampaknya, barangkali si perempuan itu kurang dapat mempraktikkannya di saat kejadian nahas itu menimpa dirinya.

Sebab, apabila pihak perempuan menolak ajakan tersebut, lalu pihak laki-laki tetap bersikeras menyetubuhinya. Hal itu akan tetap dapat dikasuskan, karena terdapat pasal yang melindungi perempuan itu, dan si laki-laki dapat dikenakan delik. Namun, jika pihak perempuannya saja memang mau melakukannya. Maka, habis sudah, karena tidak ada pasal hukum yang melindunginya, dan pihak laki-laki tidak dapat dikenai delik.

Walaupun sebenarnya bisa saja, meski atas dasar suka sama suka (konsensual) dan laki-laki tetap dapat dikenai delik. Namun, itu hanya dapat terjadi apabila usia pihak perempuan masih dibawah 18 tahun (belum dianggap cakap hukum), maka atas dasar konsensual tidak berlaku dalam kasus tersebut. Pertanyaannya:

Apakah si perempuan berumur dibawah 18 tahun?

Silakan pembaca yang menilai.

Lalu, bagaimana sanksi sosial bagi pelaku?

Mungkin saja, tetapi ketahuilah bahwasannya masyarakat akan segera melupakan dan memaafkannya. Itulah yang terjadi selama ini: pelaku tetap dapat melenggang bebas hidup sebagaimana orang pada umumnya.

Serangkaian kasus serupa yang berulang itulah yang saya sebut dengan: Timeless Stupidity.

Sebagai penutup dari esai ini, pesan saya adalah:

No matter what your situation is, including when you're in love, don't be blinded by it, and try to always use your rational abilities. Because that's all you have and can help you in any condition.

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media (X and Instagram) @antielitis