Sundoku, Antilibrary, dan Kenyataan Minat Baca

Han Abadie
3 min readSep 5, 2024

--

Photo by Rabie Madaci on Unsplash

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh beberapa dari teman saya — yang mengenal saya sebagai book enthusiast — mengajukan beragam pertanyaan yang kurang lebih senada dengan:

“Bagaimana cara agar suka baca buku?” atau

“Ada rekomendasi buku, nggak, Han?”

Terus terang saja, saya bahkan kebingungan bagaimana menjawabnya. Maka, bagi kalian (teman-teman saya) yang telah mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, maafkan saya jika jawaban tersebut (mungkin) antara tidak bermutu atau malah kadang tidak konsisten, karena dari awal, setiap jawaban untuk setiap penanya pastilah berbeda-beda.

Sebab, bagaimana cara atau metode itu bekerja tentunya akan sangat dipengaruhi oleh minat, niat, kepentingan, skala kebutuhan, urgensi, dan hal ihwal lain yang melatarbelakanginya. Oleh sebab itu, pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu sebetulnya hanya dapat dijawab oleh penanya itu sendiri. Bukan orang lain, apa lagi saya.

Andaikata, saya jawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan berbagai tips, atau saya jawab dengan merekomendasikan suatu buku. Kira-kira apa yang terjadi selanjutnya?

Paling-paling, saya hanya akan mendapat anggukan kepala saja setelah menjelaskan panjang lebar hingga mulut saya berbusa mengenai 1001 tips membaca buku. Paling mentok, penanya hanya membeli buku kemudian (seperti biasa), dianggurkan. Alias mangkrak.

Nyatanya, jawaban yang saya berikan untuk pertanyaan-pertanyaan yang seperti itu paling-paling akan percuma saja. Apakah penanya masih konsisten membaca buku semenjak pertanyaan tersebut terjawab?

Harapan saya, semoga masih konsisten. Apabila betul, maka bagus lah jika demikian.

Akan tetapi, tampaknya jahat sekali jika tulisan saya terkesan kasar dan mengintimidasi penanya. Untuk itu, saya akan coba membagikan sedikit pandangan yang barangkali dapat menumbuhkan minat untuk membaca buku.

Caranya, dengan memahami bahwa kegiatan membaca buku itu merupakan perbuatan baik kita atas penulis. Bahwa membaca buku menandakan kita menghargai karya penulis, karena penulis jelas bukan tanpa sebab dirinya menulis sebuah buku. Dengan membaca buku pula, kita berarti telah membahagiakan penulis, dan membuat tulisan tersebut menjadi berfungsi sebagaimana yang diharapkan oleh penulisnya.

Kedua, membaca buku berarti kita sedang berusaha untuk mensyukuri nikmat Tuhan yang telah menciptakan mata kita dengan segala fungsi hebatnya. Kita mensyukuri nikmat penglihatan dengan menggunakannya untuk membaca tulisan. Tak hanya mata, kita juga mensyukuri nikmat Tuhan yang telah memberi kita otak. Kita mensyukurinya dengan terus memberinya nutrisi. Memberinya nutrisi pengetahuan berarti mengasah kemampuan otak. Mengasah kemampuan otak berarti merawat otak agar tak lekas tumpul.

Terlepas dari pembaca akan menerapkan atau tidaknya poin-poin, nilai-nilai, gagasan, atau apapun karya penulis tersebut, yang terpenting, tulisan itu telah menjadi berfungsi sebagaimana semestinya. Sebab tujuan dari tulisan adalah untuk dibaca.

Pada titik ini, beberapa dari pembaca mungkin masih ragu, atau berpikir bahwa memiliki banyak buku yang belum dibaca juga sudah cukup bermanfaat, karena adanya argumen populer yang mendukung pemikiran ini, yaitu konsep antilibrary, yang pertama kali dikemukakan oleh Umberto Eco. Pada dasarnya, konsep itu tidak ada salahnya. Hanya saja, penggunanya lah yang telah mengelirukan konsep itu.

Selanjutnya, pembaca mungkin akan beralasan, bahwa semakin banyak keberadaan buku-buku yang belum dibaca justru bisa menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan potensial yang belum terungkapkan. Selain itu, banyaknya buku yang dimiliki tapi tidak dibaca, juga akan membuat kita lebih rendah hati, dan sadar jika banyak sekali pengetahuan yang belum diperoleh.

Omong kosong!

Argumen itu hanya berlaku bagi orang yang sudah membaca ratusan buku. Masalahnya, menimbun banyak buku hanya akan membuat orang berpikir jika kita telah sungguhan membaca banyak buku. Di sisi lain, membeli banyak buku hanya akan membuang-buang uang, dan memenuhi rak buku, tapi tidak dengan isi kepala. Akibatnya, muncul masalah baru: orang-orang akan berekspektasi lebih terhadap pengetahuan kita ketimbang orang yang tak pernah membaca buku.

Hal itu jelas hanya akan mempersulit diri sendiri ketika orang-orang menjadi begitu menilai pandangan dan cara bicara Anda. Sebab membaca buku adalah soal tanggung jawab. Tanggung jawab atas mempraktikkan dan mengejawantahkan apa yang telah Anda serap dari membaca buku.

Maka, penerapan konsep antilibrary jelas tidak berlaku bagi orang yang malas membaca buku. Sebab untuk orang seperti itu, konsep antilibrary hanyalah pembenaran atas kemalasan.

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @antiliteracy & Instagram: @naradamping