Sebuah Penghakiman dan Klaim Genre Film

Han Abadie
5 min readApr 10, 2024

--

Photo by Scarbor Siu on Unsplash

Disclaimer:

This writings is just for fun, don’t take it too seriously.

Kurang lebih dua tahun lalu, saat hendak nobar bersama sahabat saya—yang entah apa alasannya—dia menyarankan saya untuk menonton sebuah film, Shutter Island.

Source: Pinterest

Awalnya saya sempat bertanya-tanya dalam pikiran “Shutter Island”? Maksudnya Pulau Shutter? Apa-apaan Pulau Shutter?

Di awal film diputar, tampak sebuah adegan yang diperankan oleh Om Leo—yang legendaris itu—sedang berada di atas kapal dan mabuk laut. Singkatnya, Seorang Perwira, Edward (yang diperankan oleh Om Leo) ditugaskan untuk menyelidiki hilangnya seorang pasien yang telah melarikan diri dari rumah sakit jiwa. Namun, yang terjadi sepanjang berada di pulau tersebut sama sekali tidak sederhana, sebab ia menjumpai banyak hal berbahaya dan aneh saat terus menggali misteri, yang membuatnya semakin meragukan segalanya, termasuk kewarasan psikisnya.

Mulanya saya dibuat bingung dengan plotnya, dan (jujur) saya agak kesulitan dalam memahami alurnya. Karena saat menontonnya, diperlukan untuk berpikir ekstra (atau mungkin hanya saya, mungkin karena memang saya yang lemot) demi mengerti setiap dialog dan adegan agar dapat memahami potongan-potongan ceritanya.

Namun, entah mengapa saya justru memperoleh rasa kesenangan tersendiri setelah menyelesaikannya, kesenangan yang tidak seperti pada umumnya. Which is, ketika saya berpikir kemudian berhasil memahami alur film tersebut, saya merasakan suatu kelegaan darinya. Suatu kesenangan yang aneh. Saya tidak bohong, ini serius!

Pada kesempatan berikutnya, saya mencoba menonton film serupa, A Simple Favor. Polanya sama, penonton akan dibuat tegang dan berpikir untuk menebak-nebak alur pada film tersebut. Itu sangat menyenangkan! (setidaknya menurut saya sendiri)

Usai menontonnya, saya pun segera mencari tahu:

Apa genre yang ada pada film Shutter Island dan A Simple Favor?

Genrenya adalah:

Thriller

Seketika, semenjak saat itu saya memutuskan untuk menyukai film bergenre thriller, kemudian semakin sering menonton film thriller hingga menjadi thriller enthusiast. Bersamaan dengan itu pula, saya merasakan adanya kasta pada selera film.

(Sejatinya tentu tidak ada kasta dalam selera orang, tapi saya merasa, penggemar film thriller menempati kasta tertinggi)

Tentu saja ini self proclaimed, saya tidak peduli meski banyak selain saya yang lebih expert mengenai film thriller!

Namun yang (mungkin) buruk adalah, entah mengapa saya malah mulai membenci film bergenre romansa dan horor. Dan yang lebih buruknya lagi, saya juga kian kerap menghakimi kedua genre film tersebut, kali ini beserta penontonnya.

Semuanya bermula dari asumsi saya. Bahwasannya, film thriller adalah genre yang terbaik; tidak menye-menye; pemainnya tidaklah memerankan karakter yang biasa-biasa saja. Serangkaian bentuk plot dan alur pada cerita film thriller membuat penonton berpikir, dan itu jelas melatih kecerdasan kita.

Kurang lebih begitulah korban obsesi dari film thriller. Lebay memang. Tapi film horor dan romansa tetaplah genre film yang buruk, dan tentunya disukai pula oleh pemilik selera yang buruk!

Astaga sedemikian lebaynya saya.

Tetapi bukankah memang konyol?

Sebagai contoh, seperti yang terjadi pada:

Film horor

Pasti terdapat pemeran yang bertele-tele, tidak berguna, dungu, dan hanya menjadi beban dalam sepanjang alur cerita. Sudah mengerti jika ada hal yang mencurigakan di saat di rumah sendirian, kenapa Anda malah menghampirinya? Kemudian apa? Menyalakan lampu untuk memeriksa? Membuka lemari dan menemukan hantunya? Untuk apa!?

Tidakkah lebih baik mengundang saja seorang teman ke rumah Anda, agar rumah Anda jadi ramai, atau mungkin putar saja lagu dengan volume maksimal!?

Astaga apa yang ada di pikiran kalian, wahai aktor!

Tapi entahlah, sering kali rumah yang digunakan memiliki aura yang negatif, kelam, suram, yang jika dipikir-pikir, orang-orang tentu tidak akan sudi menghuni rumah yang tampak begitu creepy.

Tidak masuk akal!

Tidak jauh berbeda dengan penontonnya yang justru menutup matanya dan berteriak kencang di saat muncul jumpscare!? Bukankah Anda malah jadi percuma tidak melihat hantunya, woy! Sia-sia sekali.

Lantas, kenapa kalian menonton film horor jika kalian bahkan takut untuk melihat hantunya!? Atau yang lebih menjengkelkan adalah, hal itu menjadikan penonton ketakutan saat berada di rumah sendirian; kencing ke kamar mandi di tengah malam, dan lebih parahnya lagi menjadi takut salat tahajud. Jahannam memang. Tidak ada faedah dan fungsinya sama sekali!

Aneh, aneh, aneh!

Lanjut ke penghakiman selanjutnya:

Film romansa

U know?

Kehidupan yang sebenar-benarnya baru dimulai setelah film tersebut selesai.

Alur cerita film romansa tak jauh-jauh dari perjuangan menye-menye demi mendapatkan cinta, awalnya benci, kemudian jadi cinta. Awalnya tak ada kepentingan, kemudian jadi ada keperluan lalu jatuh cinta. Dipertemukan karena suatu hal, kemudian timbul lah rasa cinta beserta dengan tetek bengeknya. Polanya selalu demikian, hingga berakhir happy ending karena bersatu atau sad ending karena berpisah. Betul?

Jika hendak melihat epitome rumah tangga yang sebenar-benarnya, maka tontonlah saja film yang serupa dengan Noktah Merah Perkawinan, Cek Toko Sebelah, Ngeri-ngeri Sedap, Marriage Story, Revolutionary Road. Atau mungkin jika serial, maka tontonlah yang serupa dengan Maid, Beef, Anatomy of A Scandal, dan sebagainya.

Kate Woodcroft in Anatomy of a Scandal

Tidak bermaksud mendikte, hanya sekadar membagikan referensi. Tapi jika ada yang menganggap demikian, ya silakan saja.

Well, film-film bergenre romansa yang tayang di bioskop ataupun serial drama yang tersebar media OTT tidaklah realistis, hanya membuat kita delusi saja. Menjadikan penonton mendambakan pasangan dengan kriteria yang kelewat sempurna. Tentu itu sangat mustahil!

Seusai menuntaskan maraton drama tersebut, lantas kita semua (para penggemarnya) mendikte aktornya di dunia nyata supaya mereka sungguhan berjodoh, menikah layaknya Song Joong Ki dan Song Hye Kyo—yang sekarang pun telah bercerai.

Astaga, sakit memang.

Maka, saya mengeklaim bahwa genre kasta tertinggi dalam dunia perfilman adalah genre thriller!

Tempat dan waktu untuk berkelahi, saya persilakan di kolom komentar….

Photo by Evangeline Shaw on Unsplash

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media (X and Instagram) @antielitis