Sebuah Katarsis agar Tidak Kesepian di Malam Tahun Baru

Han Abadie
4 min readDec 25, 2023
Photo by Carson Arias on Unsplash

Peristiwa malam tahun baru boleh jadi merupakan momen yang selalu dinanti-nanti oleh hampir semua orang. Saat di mana orang-orang bersukaria merayakannya.

Apa yang ada di bayangan kita pada saat malam tahun baru?

Pada umumnya, orang-orang akan datang ke tempat ramai bersama pacar atau teman circle, sembari mengudap Telur Gulung dan menenteng Es Teh Jumbo, mendengarkan musik dengan bass maksimal hingga getarannya terasa hingga ke ulu hati, menghitung mundur 10 detik pada pukul 23:59:50, menonton kembang api meledak, kemudian bersorak-sorai, dan pulang.

Atau barangkali akan ada pasangan yang dengan percaya dirinya berciuman di keramaian pada detik 00:00:01, 1 Januari. Atau bisa jadi juga akan ada sekelompok circle pertemanan yang memesan Open Table. Bahkan mungkin kalau ada yang lebih hina lagi (berdasarkan standar moral), mereka akan antusias berpesta seks hingga fajar tiba. Kemudian memamerkan hasil dokumentasinya dengan mengunggah pose foto semitelanjang depan cermin kamar mandi hotel di akun alter X mereka.

Oh, maaf kalau berlebihan. Perayaan lebay yang sedemikian rupa itu tentu saja tidak ada!

Namun, di sisi lain, pada saat yang seharusnya "berbahagia" tersebut, beberapa orang justru malah merasa sedih, feeling lonely, karena tidak ada yang membersamai, tidak tahu hendak melakukan apa, bingung, bahkan (amit-amit, jangan sampai terjadi) ada orang yang mencoba bunuh diri. Naudzubillahi min dzalik.

Teringat sebuah percakapan:

"Kau tahu? Kapan banyak orang berpikir untuk bunuh diri?"

“Hmm?"

“Saat hari raya. Natal, Lebaran, Imlek, Tahun Baru."

“Kenapa?"

“Karena mereka semua bakal diingetin, sama yang namanya kesepian."

Ujar Kresna dan supir angkot dalam suatu adegan di film Hello Ghost.

Baiklah, memang betul. Saya tidak memungkiri dan justru sangat menyayangkan hal tersebut, bahwa itu memang menyedihkan. Mungkin jika saya dalam kondisi seperti itu, boleh jadi saya akan merasa dan berpikiran demikian juga. However, saya tetap berharap dan berdo'a agar kejadian tersebut jangan sampai terulang kembali.

Tapi, barangkali ada hal mendasar yang membuat kita merasa demikian, yang mana saya rasa hal ini penting untuk kita mengerti.

Yaitu adalah, tentang bagaimana kita memaknai Tahun Baru itu sendiri.

Kita merasa pada saat malam tahun baru berlangsung, kita harus merayakannya; harus berjalan-jalan ke alun-alun kota membeli jajan; harus menongkrong bersama seseorang atau beramai-ramai; harus menghitung mundur sepuluh detik pada pukul 23:59:50 bersama-sama; harus menonton kembang api meledak; kemudian harus bersorak-sorai.

Maka sebenarnya, siapakah yang mengharuskan kita untuk melakukan itu semua?

Tidak ada.

Maka, apa salahnya jika kita tidak melakukan apa-apa pada malam tahun baru? Apa salahnya bila kita tidak merayakannya? Apa salahnya jika kita menganggapnya hal yang biasa saja?

Juga tidak ada.

Padahal, pada dasarnya malam tahun baru hanyalah pergantian bulan, tanggal, jam, menit, detik dari 31 Desember pukul 23:59:59, ke pukul 00:00:01 tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Tidak ada yang spesial. Lagi pula, kita juga tidak merasakan apa-apa setelah berjalannya satu detik —yang seolah-olah menggemparkan— tersebut berlangsung begitu saja.

Begini, mau kita merayakan ataupun tidak, rasanya sama saja. Waktu dan hidup akan tetap berjalan sebagaimana biasanya.

Nothing has changed. Sebagaimana berjalannya waktu di hari-hari pada umumnya.

Hei!

Kita bahkan selalu mengalami berkali-kali pergantian waktu, setiap saat: Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan, tahun ke tahun dan seterusnya hingga ajal menjemput.

Alangkah tenangnya, apabila kita memaknai tahun baru layaknya pergantian dari waktu ke waktu, tanpa menganggap spesial malam tersebut, dan kita akan sadar bahwa sebenarnya tidak ada yang spesial dengan malam tahun baru. Justru sejatinya kita sendirilah yang mengistimewakannya, menganggap seolah-olah pergantian tahun adalah hal yang istimewa. Sehingga, jika tidak melakukan apa-apa, maka akan terasa aneh, tidak lazim, Nolep (atau apalah istilahnya, entah siapa yang menemukan kosakata itu).

Padahal, jika hanya mendekam sendirian di rumah atau kos, memasak mi instan, atau bahkan jika hanya ketiduran di bawah pukul 10.00, sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Tapi, hal itu menjadi masalah ketika kita mempermasalahkannya, dengan menganggap aneh, tidak lazim, merasa suwung karena membandingkan hal tersebut di saat yang lain sedang bersukaria.

Maka, kenapa kita mempermasalahkan hal itu?

"Han, kau tampak seperti seorang penganut nihilisme garis keras."

Ah, tidak juga. Banyak sekali hal yang saya anggap bernilai dan bermakna. Mau itu nihilisme, stoikisme, absurdisme, eksistensialisme, atau apalah (banyak sekali isme-isme di dunia ini). Saya tidak pernah mengklaim diri saya sebagai seorang penganut suatu isme-isme itu.

Terlepas dari aliran apapun itu, saya hanya mencoba membantu mengejawantahkan perspektif ini agar dapat menjadi katarsis bagi yang merasa kesepian dan overthinking pada malam tahun baru, dengan memaknai kembali tahun baru dengan perspektif yang saya paparkan.

Photo by Sage Friedman on Unsplash

Saya berharap semoga tulisan ini dapat menjadi katarsis bagi mereka yang merasa kesepian, bosan, sedih, gelisah ataupun gundah gulana pada saat malam tahun baru berlangsung.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Han Abadie
Han Abadie

Written by Han Abadie

A Possibilist, Indonesian writer. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @ekstapol

No responses yet

Write a response