Refleksi Bijak Menuju Pemilu

Han Abadie
8 min readDec 22, 2023
Kandidat Pemilu 2024

Saat opini ini ditulis, politik Indonesia sedang memanas dikarenakan Pemilu sudah di depan mata. Banyak dari warga negara Indonesia yang tentunya sangat antusias dengan Pemilu kali ini, entah mungkin karena sudah bosan atau bahkan tidak tahan lagi dengan dua periode kepemimpinan Pak Jokowi sehingga menuntut untuk diganti. Atau bisa jadi karena tidak suka dengan partainya (barangkali). Atau bisa jadi juga karena pernah dirugikan oleh kebijakan-kebijakan yang dibuatnya sehingga sudah tidak sabar ingin segera diganti, dan banyak sebab-sebab lain yang tidak perlu disebutkan di sini.

Namun, ada sebagian orang yang memilih apatis terhadap kegiatan ini, yang mana jumlahnya tidak sedikit. Tapi tentunya selalu ada faktor yang mendasari orang untuk bersikap apatis.

Ada yang dikarenakan sudah tidak percaya dengan siapa-siapa lagi, mungkin karena mereka merasa memang sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya dalam demokrasi. Atau ada juga yang bersikap apatis karena naif, sebab mereka tidak tahu apa-apa, bisa karena malas atau sibuk, dan bisa jadi juga karena tidak adanya akses untuk mencari tahu mengenai info politik terkini. Atau malah ada pula yang apatis karena sok edgy, biar dianggap keren, Fear of Missing Out (FOMO) karena teman sejawatnya juga golput.

“Politik itu seperti septic tank. Tai semua isinya!" begitu kata seorang komika.

Terlepas dari mungkin saja ungkapan tersebut adalah fakta, saya tidak ingin membahasnya. Karena ada yang lebih menyedihkan daripada itu. Mereka adalah yang memilih, tapi mereka tidak tahu siapa yang mereka pilih. Dan yang menjadi masalah adalah, orang yang seperti ini tidak sedikit.

Kasusnya adalah, mereka bahkan tidak tahu betul latar belakang orang yang mereka pilih, tidak punya alasan mendasar kenapa mereka memilih kandidat tersebut. Selain itu, di sisi lain mereka juga membenci suatu kandidat tapi tidak tahu betul alasan mengapa mereka membencinya. Mereka hanya ikut-ikut saja. Iya benar sekali, FOMO.

Sangat disayangkan sekali mereka-mereka ini justru adalah para pemuda yang baru pertama kali ikut Pemilu, baru pertama kali akan mencoblos, yang konon mereka adalah harapan bangsa.

Kenapa hal ini perlu dibahas?

Karena saya peduli dengan masa depan nasib negara ini. Apalah jadinya jika negara ini dipimpin oleh orang yang salah, zalim, dungu, atau bahkan oligarki. Maka negara ini akan hancur (atau barangkali jika memang sudah hancur, maka akan semakin hancur) bila kepemimpinan berada di tangan orang yang salah.

Kalaupun ingin tidak peduli, ingin acuh tak acuh dengan Pemilu kali ini, rasanya juga tidak bisa.

Kenapa begitu?

Karena kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh mereka nanti akan berdampak pada slip gaji kita, memengaruhi pendapatan serta pengeluaran untuk biaya hidup kita; kebijakan mereka juga akan berdampak pada biaya UKT bagi para mahasiswa; beasiswa bagi yang mendapat beasiswa; komoditi bagi para petani, peternak, dan pedagang; serta bea cukai bagi para pebisnis ekspor-impor. Semuanya akan terdampak.

Sangat disayangkan sekali apabila mereka menyukai bahkan memfanatiki suatu kandidat, tapi di sisi lain juga tidak suka bahkan membenci suatu kandidat tanpa sebab, tidak mengerti alasan mengapa fanatik pada ini dan benci pada itu.

Saya tidak bilang bahwa, tidak boleh fanatik atau benci terhadap suatu pilihan mereka. Tapi setidaknya untuk fanatik atau benci, keduanya perlu alasan mendasar yang konkret.

Jika mereka membenci tanpa sebab, maka muaranya adalah mereka tidak akan mendengarkan, bahkan menutup mata terhadap kemungkinan baik atau terpuji pada kandidat yang mereka benci. Dan sebaliknya, jika mereka memfanatiki tanpa sebab, maka muaranya adalah mereka tidak akan mendengarkan bahkan menutup mata terhadap kemungkinan buruk atau nista pada kandidat yang mereka fanatiki.

Oleh karena itu, saya melakukan peninjauan kecil-kecilan mengenai hal ini, dan saya menemukan hipotesis sebab esensial yang membuat mereka menjadi demikian, yaitu adalah kenaifan yang disebabkan oleh kemalasan.

Kenapa saya katakan demikian?

Karena saat ini kita sudah berada di era digital yang mana segala informasi sudah tersedia di berbagai platform dan media sosial. Begitu juga dengan informasi politik yang banyak tersedia di internet.

Tapi ketersediaan informasi tersebut hanya akan sia-sia jika orang-orang tetap enggan mengonsumsi informasi tersebut. Mereka lebih suka menonton video-video pendek Tiktok yang subjektif dan tendensius. Yang mana informasi-informasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan kredibilitasnya (beberapa dari mereka bahkan malah mempercayai komentar-komentar buzzer), algoritma Tiktok hanya menyodorkan konten yang diinginkan oleh viewers, tidak peduli itu hoax atau bukan. Maka yang diperoleh hanyalah informasi yang ingin dikonsumsi, bukan yang seharusnya dikonsumsi.

Mereka enggan untuk kritis, tidak doyan mengonsumsi berita dari pers. Jika persoalannya hanya pada malas membaca, maka sudah ada YouTube dan Spotify untuk solusinya. Dan untuk memperoleh informasi tersebut, hal itu bisa dilakukan sambil mencuci, menjemur, menyetrika baju, mencuci piring, menyapu rumah, mengepel lantai, dll.

Tetapi, apakah itu menjamin mereka menjadi mau mengonsumsi informasi tersebut? Tentu saja, tidak.

Mereka lebih memilih untuk tidak melakukannya. Malas. Yang mana padahal, media pers jelas lebih kredibel informasinya. Tapi konten drama cuplikan pendek dan tendensius di Tiktok sepertinya lebih menarik daripada yang diberitakan oleh pers.

Maka, informasi apa yang seharusnya dikonsumsi?

Konsumsilah media informasi yang apa adanya, objektif, yang mengupas secara komprehensif dan tidak ada tendensi ke suatu partai atau pihak tertentu.

Mungkin orang belum tahu, harus mengonsumsi informasi media massa yang mana?

Baiklah, ada majalah Tempo https://majalah.tempo.co/.

Maka timbulah masalah baru seperti: Keberatan dengan biayanya atau tidak mau membayar

Baiklah, sudah ada program Bocor Alus Politik di channel YouTube-nya Tempo https://youtube.com/@TempoVideoChannel. Gratis, bahkan bisa diputar berkali-kali hingga hafal jika mau. Tanpa bayar.

Apakah hanya itu saja channel-nya?

Oh, tidak hanya itu, masih ada juga Narasi TV di YouTube milik Najwa Shihab https://youtube.com/@NajwaShihab, dan masih banyak lagi pers-pers lainnya (walaupun masih ada beberapa lainnya yang tidak saya sebutkan karena mungkin saja dimiliki oleh suatu koalisi. Jadi, maaf tidak saya rekomendasikan, agar jangan mengonsumsi informasi yang tendensius) yang sudah menyediakan banyak informasi penting.

Itu hanya yang paling mendasar, masih banyak lagi yang perlu dipertimbangkan saat hendak memilih kandidat. Seperti: Background checking, bagaimana track record mereka di masa lalu.

Apakah pernah blunder? Seberapa parah? Seberapa berdampak dalam kampanye mereka? Dan bagaimana masa kepemimpinannya pada saat menjabat sebagai gubernur atau wali kota? Apakah baik atau buruk? Bandingkan dengan kepemimpinan sebelumnya, apakah kian membaik? Atau malah memburuk? Apa kata rakyat yang pernah dipimpinnya?

Hal-hal itulah yang memengaruhi bagaimana cara kita dalam memandang nilai-nilai yang kita percayai terhadap siapa yang kita fanatiki dan benci. Karena hanya itulah fakta tersisa yang bisa kita pelajari. Walaupun saya tahu mungkin ini agak sulit. Karena apabila sudah terlanjur fanatik, ketika ada informasi buruk idola kita pun, kita memilih untuk tidak mau tahu.

Apakah itu saja?

Tidak, masih ada pertimbangan berdasarkan masalah yang dihadapi negara ini. Soal hutang, korupsi, HAM, freedom of speech, pendidikan, alam, mata uang, ekonomi, hukum dan masih banyak sekali yang tidak saya sebutkan yang setidaknya perlu untuk kita ketahui.

Maka siapakah yang lebih menguasai hal masalah di negara ini dan siap dengan solusinya?

Untuk mengujinya, ada penayangan Debat Capres dan Cawapres agar kita bisa melihat bagaimana penguasaan mereka terkait masalah negara dan bagaimana mereka menawarkan solusinya.

Apakah itu saja?

Oh tentu saja tidak, masih ada lagi pertimbangan pendapat para ahli hukum dan pengamat politik, salah satu diantaranya adalah Rocky Gerung, misalnya.

Rocky Gerung

Mengapa beliau?

Terlepas dari memang dia merupakan seorang filsuf dan memiliki kecerdasan yang luar biasa, dia merupakan orang yang sungguh-sungguh mengamati politik di negara ini, dia jelas menguasai masalah negara. Oleh karena itu, pendapatnya hampir selalu dijadikan pertimbangan oleh para politikus di negara ini.

Saya tidak bilang untuk selalu menyetujui atau mendukung penuh gagasannya, tapi setidaknya pertimbangkanlah gagasannya.

Maka timbulah masalah baru (lagi).

Karena semua hal-hal yang saya jelaskan di atas, itu semua akan berujung pada: Tinggal bagaimana kitanya sekarang? Apakah bersedia mengonsumsi berita itu? Apakah mau mencoba mencari tahu? Kemudian, apakah siap menerima fakta yang tidak nyaman untuk diketahui? Apakah siap dengan fakta bahwa masih banyak sekali hal yang perlu kita ulik, telaah, dan tinjau? Apakah siap dengan fakta bahwa masih banyak hal janggal dari nilai-nilai yang kita percayai?

Barangkali saya sebenarnya bukanlah orang yang optimis, tapi bukan juga orang yang pesimis. Mungkin sebutan possibilist atau realis lebih tepat. Karena saya masih percaya dengan adanya kemungkinan baik, meskipun tetap waspada terhadap kemungkinan buruk.

Sebenarnya dari ini semua, saya hanya heran dan menyayangkan: Apa benar kita hanya asal pilih, tanpa mempertimbangkan lebih dalam siapa yang pantas menjadi pemimpin negara nanti?

How could you?

Kemudian, setelah mengetahui tahu latar belakang beserta rekam jejak mereka, kita menjadi tahu bahwa semuanya pasti memiliki sisi negatif (walaupun penilaian hal negatif tersebut berdasarkan nilai-nilai apa yang kita pegang, subjektif).

Memang benar, saat ini —atau bahkan malah sejak dulu— pertimbangan dalam memilih kandidat Pemilu ini tidak pernah hitam-putih, yang ini baik dan yang itu buruk, tidak ada yang benar-benar bersih.

Setelah itu, barulah saatnya memilih jujur dari lubuk hati yang terdalam, berdasarkan pertimbangan atas informasi objektif yang kita konsumsi, serta melepaskan keterperangkapan ideologi yang payah tapi malah kita percayai.

Maka pada suatu makan malam, ayah saya menjelaskan bahwa, pertimbangannya adalah diantara pilihan yang buruk, masih ada yang mendingan, masih ada yang setidaknya tidak terlalu nista. Maka pilihlah kandidat yang mendingan itu.

Kemudian setelah kita mengetahui banyak rekam jejak para kandidat, maka kita akan tahu ada yang memiliki rekam jejak yang benar-benar buruk, dan yang belum tentu baik. Maka pilihlah yang belum tentu baik.

Karena jika hendak menuntut kriteria yang sempurna berdasarkan standar nilai-nilai yang kita mau, maka itu tidak akan ada. Sebab pilihan kita terbatas. Kita hanya dapat memilih kriteria yang "setidaknya".

Tidak akan ada? Kenapa tidak akan ada?

Yeah, because nobody’s perfect. Perfection only belongs to God.

Kita sampai pada penghujung pembahasan. Poin terakhir ini adalah poin yang cukup penting, karena menyangkut hubungan kita dengan orang lain.

Pada poin ini saya tegaskan bahwa, pertanyaan-pertanyaan seperti:

"Siapa yang hendak kamu coblos besok?", "Kamu pilih siapa buat jadi presidenmu?", dll.

Itu hanya akan memecah belah dan merusak hubungan pertemanan bahkan keluarga.

Saya juga tegaskan bahwa, persoalan siapa memilih siapa itu adalah privasi! Kita tidak perlu bertanya dan tahu soal pilihan orang. Dan juga kita tidak perlu memberitahu ke orang-orang (tapi itu opsional. Terserah anda) dan tidak perlu menjawab pertanyaan orang mengenai ini jika anda keberatan memberi tahu.

Apa yang diharapkan dari pertanyaan dan jawaban ini? Debat? Saling mengolok-olok dan berkoar-koar bahwa pilihan kita yang terbaik? Buat apa?

Begini, sebenarnya persoalannya bukan pada pertanyaan dan jawabannya, tapi karena kita sulit objektif ketika membahas soal pilihan. Kita akan emosi saat pendapat kita bertentangan. Ribut seperti orang aneh.

Jangan pikir saat berdebat kusir, gontok-gontokan mengenai pilihan kitalah yang terbaik, itu adalah hal yang keren. Itu tidak keren sama sekali!

Cukup simpan saja dalam hati, dan diskusilah objektif mengenai hal-hal yang saya tulis di atas saja, seperti: masalah negara, latar belakang kandidat, kemampuan mereka dalam menghadapi masalahnya, dll. Kemudian menghasilkan mufakat atau ide dan gagasan baru.

Itu jelas lebih keren daripada harus berdebat kusir, gontok-gontokan soal preferensi masing-masing!

Dan saat ada yang menarasikan, atau beropini, atau membuat status Whatsapp mengenai info tertentu suatu kandidat yang terkesan tendensius, hal itu bukan berarti dia benar-benar tendensius. Maka cukuplah sadari bahwa itu hanya asumsi semata. Karena kita tidak tahu pasti isi kepala serta hati seseorang, dan itu bukan urusan kita, apalagi jika sampai mengintervensi pendapat mereka.

Kita punya hak kebebasan berbicara, maka kita berhak menggunakannya. Dan ketika mereka bernarasi mengenai hal yang seolah-olah tendensius, pahamilah bahwa pada dasarnya dia hanya menggunakan hak kebebasan berbicaranya.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Han Abadie
Han Abadie

Written by Han Abadie

A Possibilist, Indonesian writer. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @ekstapol

Responses (1)

Write a response