Penggunaan Bahasa atau Istilah Asing: Meninjau Antara Penghambat dan Efisiensi dalam Penyampaian Pesan

Menurut saya ada dua perspektif mengenai hal ini:
1. Perspektif pembicara/penulis
Kami yang menggunakan bahasa atau istilah asing itu tidak selalu karena ingin menunjukkan bahwa kami mengetahui banyak istilah, atau ingin dianggap berwawasan luas. Karena pada dasarnya penggunaan istilah asing tersebut sangat membantu mempermudah dalam penyampaian suatu poin atau maksud tertentu.
Saya beri permisalan: Pada kata “preventif”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “preventif” artinya “bersifat mencegah” (Iya, memang sesederhana itu), kata “preventif” lebih praktis untuk diucapkan daripada harus mengatakan “bersifat mencegah”.
Sebagai contoh, akan lebih ribet jika mengatakan: “Aku lebih suka mengetik daripada menulis tangan karena tulisanku cenderung jelek untuk dibaca daripada ketikanku, dengan tujuan sebagai bentuk bersifat mencegah agar orang lain tidak salah baca.”
Bandingkan dengan: “Aku lebih suka mengetik daripada menulis tangan karena tulisanku cenderung jelek untuk dibaca daripada ketikanku, dengan tujuan sebagai bentuk preventif agar orang lain tidak salah baca.”
Lebih praktis, bukan?
Atau contoh lain dalam kata “efisiensi”. Dalam KBBI “efisiensi” artinya “ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya)”.
Sebagai contoh, akan sangat sulit jika mengatakan: “Para pembicara atau penulis lebih suka menggunakan istilah asing tertentu demi tujuan ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu (dengan tidak membuang waktu, tenaga, biaya) dalam menyampaikan pesan.”
Bandingkan dengan: “Para pembicara atau penulis lebih suka menggunakan istilah asing tertentu demi tujuan efisiensi dalam menyampaikan pesan.”
Jauh lebih mudah, bukan?
Begitu pula dengan kata “tendensius” yang dalam KBBI artinya “bersifat berpihak”. Sebagai contoh, lebih nyaman mengatakan: “Karena kamu seorang jurnalis, kamu harus independen! Kamu tidak boleh netral apalagi tendensius ke salah satu dari mereka.”
Daripada: “Karena kamu seorang jurnalis, kamu harus independen! Kamu tidak boleh netral apalagi bersifat berpihak ke salah satu dari mereka.”
Tapi, terlepas dari beberapa contoh diatas, kami tentunya punya alasan tersendiri mengapa kami menggunakan istilah-istilah tertentu. Di antaranya, karena sebuah kalimat akan lebih ngena jika menggunakan diksi atau istilah tertentu daripada kata yang lebih sederhana.
Sebagai contoh kasus:
Mengapa buku impor masih — dan akan selalu — menggunakan alih bahasa/penerjemah? Bukankah jika menggunakan Google Translate atau Deepl seharusnya jadi lebih mudah?
Begini, jika menggunakan Google Translate, maka akan ada banyak kalimat atau makna yang tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya, sehingga pesan dari penulis tidak tersampaikan dengan baik. Maka dari itu, pemahaman akan suatu bahasa sangat memerlukan banyak kosakata, diksi, atau istilah-istilah asing tersebut, supaya pesan yang sebenarnya dapat lebih mudah tersampaikan dengan baik.
Walaupun sebenarnya mungkin saja, ada orang yang sok menggunakan bahasa tinggi agar terlihat keren dan pintar. Soal itu, tentu saja itu boleh, dan itu sah-sah saja. Tidak ada yang melarang.
Namun, di sisi lain, apabila pesan yang disampaikan malah membuat audiens bingung, tidak paham, atau bahkan salah paham. Maka hal tersebut hanyalah sia-sia belaka. Lalu, apakah dengan menggunakan istilah-istilah atau kosakata asing tersebut membuat mereka jadi terlihat pintar? Belum tentu. Tapi jika terlihat sok pintar? Mungkin, iya.
2. Perspektif audiens/pembaca
Kita kerap menyalahkan para pembicara/penulis yang menggunakan istilah-istilah dan diksi yang asing, di saat kita tidak mengerti tentang apa yang mereka sampaikan.
Padahal, itu tidak sepenuhnya salah mereka. Bukan tanpa alasan mereka begitu. Kita tidak tahu apa alasan mereka, bukan berarti tidak ada alasannya.
Menurut saya, jika kita tidak mengetahui suatu hal, maka solusinya adalah justru mencari tahu. Bukankah begitu? Atau saya yang salah?
“Kita tidak salah jika kita tidak tahu akan suatu hal, akan tetapi kita salah jika kita tidak mencari tahu.” Begitu kata seseorang.
Ketika mereka menggunakan bahasa tinggi agar pesan mereka bisa tersampaikan dengan baik, agar pesan yang sebenarnya tidak disalahpahami, agar tidak menghilangkan esensi atau hakikat makna tulisan dari penulis, apakah mereka salah? Apakah mereka harus menurunkan ke bahasa yang lebih rendah?
Jika iya, bukankah itu adalah suatu kemerosotan?
Mengapa bukan kita saja yang memperkaya kosakata kita? Mengapa bukan kita saja yang mencari tahu mengenai kosakata dan diksi asing tersebut? Mengapa bukan kita saja yang berkembang? Mengapa kita malas mencari tahu?
Omong-omong soal kosakata. Kita menganggap suatu kosakata tersebut asing, hal itu karena kita jarang mendengar kosakata tersebut, yang mana mungkin bahkan belum pernah kita dengar sebelumnya, atau jangan-jangan kita tidak menyangka kalau ternyata kosakata tersebut ada. Separah itu.
Oleh karena itu, di sinilah pentingnya kita untuk menumbuhkan rasa keingintahuan yang besar dalam diri kita. Membiasakan belajar hal baru, hal asing, atau apapun itu yang belum kita ketahui.
Lagi pula, kalau kita mengetahui banyak akan istilah-istilah, kaya akan kosakata, bukankah kita sendiri yang untung? Bukankah kita sendiri yang akan terbantu?
Apa lagi jika kita sering mendengar kosakata atau istilah-istilah asing tersebut, maka kita akan terbiasa, dan menganggap kosakata asing atau tinggi tersebut menjadi hal yang biasa saja. Lazim. Tidak ada yang aneh dengan kosakata atau istilah-istilah tersebut. Karena kita sudah terbiasa dengan hal baru.
Kesimpulan:
Sebagai penulis/pembicara yang bijaksana (tidak hanya pintar saja tentunya), alangkah baiknya jika kita mengerti terlebih dahulu siapa target audiens kita, apakah orang awam? Atau orang yang sudah advanced (tingkat lanjut)?
Itulah tugas kita untuk mencari tahu dan memposisikan bagaimana cara kita nanti dalam menyampaikan pesan. Maka akan lebih baik lagi, untuk tidak perlu berlebihan dalam meninggikan bahasa atau istilah kita dalam penyampaian pesan. Karena itu hanya akan menimbulkan kesan cringe atau bahkan freak bagi orang yang sudah advanced, dan hanya akan sia-sia bagi orang yang masih awam. Sebab mereka tidak mengerti. Orang Jawa menyebutnya muspra.
Sebagai audiens yang bijaksana pula, kita tidak perlu melulu menyalahkan pembicara/penulis di saat mereka menggunakan istilah-istilah atau kosakata asing tersebut. Menyalahkan mereka tidak ada gunanya. Maka alangkah lebih bijaksana bila kita tinggal mencari tahu saja apa kosakata atau istilah-istilah yang tidak kita ketahui itu. Toh, sekarang zaman juga sudah maju, sudah ada Google, atau aplikasi KBBI di Playstore. Tidak perlu ke sana kemari sambil menenteng buku tebal KBBI seperti orang aneh, bukan?
Jika tetap masih ada kendala, maka kendalanya ada pada diri kita sendiri, yaitu adalah kemalasan.