Miskonsepsi Konyol Tentang Red Flag dengan Sifat Friendly

Han Abadie
5 min readJan 21, 2024

Photo by Helena Lopes on Unsplash

Belakangan ini saya benar-benar resah dengan miskonsepsi orang-orang dalam memandang perangai orang yang friendly.

Tulisan ini ditujukan kepada orang-orang yang menyalahpahami makna friendly. Jika pembaca tersinggung, maka tulisan ini ditujukan untuk Anda.

Mari kita telaah secara mendalam terkait diksi ini, here we go!

Kata friendly secara harfiah memiliki arti berdasarkan adverbia dan adjektiva. Berdasarkan adjektiva artinya: ramah; mudah bergaul; penuh persahabatan; rukun; yang menguntungkan; guyub, dll.

Sedangkan berdasarkan adverbia artinya: secara persahabatan atau dengan ramah.

Maka bisa disimpulkan makna dari orang yang friendly adalah orang yang mudah bergaul, pandai bersosial, mencari teman, dsb.

Saya anggap pengertian sederhana ini sudah cukup, oke?!

Sebelum lanjut, kita harus sepakati dahulu definisi ini agar dalam pembahasan selanjutnya tidak lagi disalahpahami. Deal?

“Apa yang sebenarnya membuatmu resah, Han?”

Banyak orang memandang bahwa orang yang friendly adalah orang yang red flag. Makna red flag dalam konotasi ini adalah orang yang harus dijauhi dan jangan sampai menjalin hubungan asmara dengan mereka.

Saya hanya heran, apa salahnya perangai friendly? Apa salahnya seseorang memiliki skill bersosialisasi yang bagus?

Bukankah itu suatu kelebihan yang menandakan bahwa mereka memiliki kecerdasan interpersonal yang baik?

Alih-alih dianggap bocah red flag yang harus dijauhi dalam menjalin hubungan asmara, mereka seharusnya dengan kelebihan tersebut dapat menjadi nilai plus dalam kepribadian mereka.

Hei, beberapa orang justru ada yang kesusahan dalam bersosialisasi, kesulitan bergaul dengan orang lain, kikuk, bahkan tidak percaya diri untuk berkenalan dengan orang asing. Tetapi di sisi lain, mengapa orang yang pandai bergaul malah dianggap menjadi suatu kekurangan?

Saya tidak habis pikir, ini benar-benar aneh!

Karena saya masih tidak terima, saya coba untuk meninjau masalahnya. Ternyata, persepsi konyol mereka mengenai orang friendly itu ada sebabnya.

Berdasarkan asumsi sotoy saya, salah satu sebab yang saya temukan adalah karena mereka memiliki pengalaman buruk atau semacam false belief terhadap orang yang friendly.

Di antara false belief mereka yaitu:

Bagi orang yang berpacaran entah mungkin karena pacarnya yang friendly, seseorang jadi merasa cemburu. Baiklah, hal ini make sense dan dapat dimengerti.

Tetapi bagi orang yang tidak berpacaran, mengapa menganggap orang friendly merupakan indikasi dari red flag? Sementara dirinya sendiri justru tidak menjalin hubungan dengan siapapun.

Tapi, mengapa hal ini jadi masalah baginya?

Oh, mungkin saja ia mempunyai riwayat hubungan yang buruk dengan orang yang friendly atau barangkali malah dia sendiri yang pernah menjadi orang friendly, sehingga merugikan orang lain. Yeah, lagi-lagi ini hanyalah kemungkinan. Possibility.

Baiklah, begini saja. Saya akan coba meluruskan persepsi keliru terkait orang yang friendly.

Perangai atau sifat friendly merupakan hal yang baik, bahkan bisa jadi sebuah nilai plus bagi kepribadian orang tersebut. Bukan malah suatu kekurangan apalagi sifat seseorang yang harus dihindari apalagi dijauhi.

Hal-hal yang biasanya diasosiasikan dengan orang yang friendly seperti: Rawan berselingkuh, membuat resah, dan sengaja membuat cemburu. Hal itu merupakan suatu kemungkinan buruk yang disebabkan oleh sifat friendly itu sendiri, dan ini jelas bukan suatu keniscayaan.

Apakah orang yang susah bergaul sudah pasti setia?

Tentu saja, tidak!

Apakah orang yang susah bergaul dapat menjamin kesetiaan?

Jelas, tidak.

Apakah orang yang friendly dapat menjamin kesetiaan juga?

Tentu, tidak juga.

Orang yang friendly bukan berarti tidak setia, susah menjaga komitmen, suka ingkar janji, dan berkhianat. Begitu pula dengan orang yang susah bergaul, bukan berarti mereka sudah pasti setia, mampu menjaga komitmen, tidak akan ingkar janji, dan mustahil berkhianat.

Tidak ada urusannya dengan itu!

Kemungkinan-kemungkinan buruk diatas, bagaimanapun juga hanyalah suatu kemungkinan belaka. Maka artinya hal tersebut belum tentu akan terjadi.

Tetapi, apakah semua orang friendly sudah pasti akan selingkuh?

Belum tentu.

Apakah orang yang friendly sudah pasti akan setia?

Belum tentu juga.

Pada dasarnya permasalahan tersebut disebabkan karena tidak adanya kesetiaan atau komitmen dalam menjalin hubungan. Tetapi anehnya, mengapa yang dikambinghitamkan adalah sifat friendly orang tersebut?

Karena pada kenyataannya, bagaimanapun perangai seseorang entah susah bergaul atau pun friendly, keduanya memiliki kemungkinan berselingkuh. Keduanya sama-sama berpotensi untuk berselingkuh jika mereka mau melakukannya. Namun, bukan berarti keduanya juga pasti akan selingkuh di saat menjalin hubungan.

Jangan terbiasa mengasosiasikan hal-hal yang tidak ada kolerasinya seperti ini. Tuduhan dan stereotipe pada orang yang friendly ini harus dihentikan!

“Tapi banyak sekali orang yang friendly hanya gemar membuat cemburu. Lebih parah lagi, mereka ternyata berselingkuh!”

Baiklah, apabila mereka yang friendly berselingkuh, itu artinya mereka pada dasarnya tidak bisa menjaga hubungan atau tidak bisa berkomitmen dengan orang yang dicintainya. Mereka tidak paham boundaries atau batasan-batasan dalam bersikap dan berinteraksi dengan lawan jenis lain saat sudah menjalin hubungan dengan seseorang.

In a nutshell, mereka berselingkuh itu karena pada dasarnya mereka ini bajingan saja, bukan karena friendly.

Kalau memang seseorang akan berselingkuh karena perangainya yang friendly, maka seharusnya orang yang susah bergaul sudah pasti setia, bukan?

Tetapi kenyataannya tidak demikian. Mereka yang susah bergaul pun melakukan perselingkuhan secara diam-diam juga, sama saja. Mereka melakukannya karena mereka memang bajingan.

That’s all!

However, se-friendly apapun seseorang jika ia waras —dan tidak idiot— ia akan bertenggang rasa saat berhubungan atau berinteraksi selain dengan orang yang dicintainya. Ia akan mempunyai batasannya sendiri, sebab ia tahu diri dan ia sadar bahwa ia sudah memiliki kekasih.

Inilah prinsip pemikiran yang sehat!

Namun, demi preventif beberapa orang memilih untuk mengekang atau bersikap overposesif agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Iya, silakan saja, karena itu preferensi hubungan masing-masing. Sepanjang orang yang diperlakukan demikian mau-mau saja, atau tidak keberatan, tidak ada masalah dengan hal itu.

“Tapi apakah itu bisa dipastikan tidak akan berselingkuh?”

Tidak bisa.

Tidak ada satupun yang bisa memberi kepastian di masa depan, apapun bisa terjadi termasuk berselingkuh. Tidak ada yang bisa menjamin kesetiaan seseorang. Mereka melakukan perselingkuhan atas dasar kemauan sendiri, bukan karena kepepet atau terpaksa. Tidak mungkin seseorang berselingkuh dalam keadaan tidak sadar, seseorang melakukannya dalam keadaan sadar.

“Lalu bagaimana dengan kepercayaan? Apakah sudah tidak ada lagi orang yang setia?”

Trust me!

Masih ada, masih banyak dan akan selalu ada orang yang setia.

Tapi agar pembahasan ini tidak kemana-mana, alangkah baiknya jika saya lanjutkan di tulisan yang lain. Sebab, tujuan dari tulisan ini hanyalah untuk meluruskan persepsi, serta menghentikan tuduhan dan stereotipe terhadap orang yang friendly saja.

Apabila memang belum sanggup menjalin hubungan asmara dengan orang friendly karena kita pencemburu berat atau pencemas berlebih karena takut diselingkuhi, maka jalinlah hubungan asmara dengan orang yang sulit bergaul saja!

Tidak usah menyalahkan mereka, segera sadari bahwa itu hanyalah miskonsepsi kita belaka. Karena orang yang friendly sama sekali tidak bersalah dalam hal ini, yang bersalah adalah orang friendly dan orang sulit bergaul yang bajingan.

Editor: Lily

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Han Abadie
Han Abadie

Written by Han Abadie

A Possibilist, Indonesian writer. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @ekstapol

No responses yet

Write a response