Menyoal Urgensi Memberi Kabar dalam Pacaran

Han Abadie
5 min readApr 1, 2024

--

Photo by Olena Kamenetska on Unsplash

Realita menjalin hubungan dengan seseorang yang dicintai, tentu tidak selalu sama dengan yang diimajinasikan ketika sebelum menjalin hubungan.

Seseorang barangkali kerap merasa dirinya sudah cukup layak dalam menjalin kasih dengan orang yang dicintainya. Namun dalam praktiknya, saat mendapati beragam badai konflik yang tak terhindarkan, ada kalanya seseorang menyadari bahwa dirinya ternyata belum cukup layak untuk menjalin hubungan tersebut.

Beberapa orang berpisah, beberapa orang lainnya tetap bertahan menghadapi badai konflik itu. Memang demikianlah tahap menjalin hubungan. Melalui sederet konflik, hubungan seseorang akan diuji dengan dibawa pada dua muara: semakin erat karena bertahan, atau justru berpisah karena menyerah.

Salah satu konflik tak terhindarkan yang kerap memicu polemik banyak orang diantaranya adalah, perihal memberi kabar. Beberapa pembaca mungkin pernah mendengar persoalan atau bahkan boleh jadi mengalami sendiri dalam praktiknya. Yang kurang lebih bernada:

Kasih kabar dan Post a Picture (PAP) kalau mau ngapa-ngapain itu penting! Setidaknya kita jadi ngerti, biar ga overthinking! Nanti kalau kejadian apa-apa sama kamu gimana? Belum lagi misal kamu selingkuh!

Baiklah, tak apa. Tampaknya mayoritas hubungan anak muda saat ini yang menjadi penyebab konflik hariannya adalah soal memberi kabar. Tenang saja, banyak orang yang seperti itu, Anda tidak sendirian.

Saya akan mencoba membahasnya melalui secuil aspek filosofis versi saya sendiri. Para filsuf atau praktisi filsafat yang membaca esai ini saya persilakan untuk mengoreksi demi menyempurnakannya.

Baiklah, langsung saja. Dalam segala hal yang mengandung unsur filsafat, pastilah hal tersebut dimulai dengan pertanyaan. Maka saya akan mulai dengan pertanyaan:

Apa urgensi dari memberi kabar?

Menurut saya, Tidak ada urgensinya.

Karena jika alasannya: hanya untuk agar tidak kepikiran. Maka akan menuju pada pertanyaan selanjutnya:

Kenapa mesti kita pikirkan kabar si pacar?

Ketika kita memikirkan kabarnya, pikiran itu timbul karena kita lah yang memilih untuk memikirkannya. Sementara itu, sebenarnya kita juga bisa memilih untuk tak perlu memikirkannya. Maka, memikirkan kabar pacar kita atau tidak, itu adalah sebuah opsi, yang mana itu jelas bukan suatu keniscayaan yang pasti terjadi apabila sedang tidak bersama dengan pacar kita.

Pada kenyataannya, terdapat orang yang tidak masalah jika pacarnya tidak perlu mengabari aktivitasnya setiap saat.

Dikarenakan orang tersebut tidak ambil pusing dengan kabar si pacar, maka tidak ada yang namanya overthinking. Sebab dia memilih untuk tidak perlu merisaukan setiap gerak-gerik pacarnya, meskipun pacarnya tak memberi kabar saat tidak sedang bersamanya.

Singkatnya, Anda juga mempunyai kendali penuh untuk tak perlu memikirkan keadaan pacar Anda pada setiap jengkal aktivitasnya. Jika memikirkannya justru hanya membuat Anda risau, lantas kenapa Anda harus memikirkannya?

Masuk akal? Silakan disiasati dengan perlahan.

Baik selanjutnya, mengenai jika alasannya: apabila nanti terjadi apa-apa pada si pacar, (ini akan banyak bersangkutan dengan penyintas LDR) maka saya bertanya terlebih dahulu:

Memangnya memberi kabar atau tidak memberi kabar, akan memengaruhi nasib si pacar sehingga tidak akan terjadi apa-apa?

Tentu, tidak ada pengaruhnya sama sekali.

Begini, di saat belum menjadi pacar, ia bebas pergi kemanapun ia mau— walaupun mungkin ia masih perlu izin pada orang tuanya — (jika ia tidak durhaka) tanpa ada kewajiban mengabari terlebih dahulu atau izin pada siapapun, dan sepanjang hidupnya pula ia jalani demikian.

Lalu, apa yang terjadi?

Benar, selama itu hidupnya pun masih baik-baik saja—tanpa harus melaksanakan kewajiban saat sudah memiliki pacar: memberi kabar dan PAP terlebih dahulu di setiap aktivitasnya.

Coba pertimbangkan!

Sebelum berpacaran, ia dapat bebas pergi berkelana ke manapun dan melakukan apapun yang ia mau, tanpa harus memberi kabar terlebih dahulu. Sedangkan saat mempunyai pacar, ia menjadi memiliki kaharusan untuk memberi kabar pada pacarnya sebelum ia pergi dan melakukan apapun di setiap aktivitasnya.

Maka bukankah memberi kabar itu—selain tidak ada urgensinya—justru hanya akan menambah beban baginya?

Begini rumusnya:

Memberi kabar = bisa terjadi apa-apa, bisa juga tidak terjadi apa-apa.
Tanpa memberi kabar = bisa terjadi apa-apa, bisa juga tidak terjadi apa-apa.

Lantas, mengapa mesti memberi kabar?

“Kan biar kalau kenapa-napa bisa nolongin”

Hei, jika terjadi apa-apa padanya, kita hanya akan dapat menolongnya jika kita baru menyadari bahwa ada yang ganjil darinya, kemudian kita (mungkin) memastikan kalau ponselnya tak dapat dihubungi, dan barulah kita bisa berupaya menghampiri dan menolongnya. Itu pun jika belum terlambat.

Singkatnya:

Jika terjadi apa-apa pada pacar Anda, Anda baru kemudian bisa menolongnya setelah melewati serangkaian alur itu. Dan itu tidak serta-merta Anda langsung bergegas menolongnya, kan?

Maka, bisa diasumsikan bahwa memberi kabar untuk tindak lanjut jika terjadi apa-apa pada si pacar, tidaklah sesignifikan itu.

Terutama bagi orang yang menjalani hubungan LDR, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain mengupayakan segalanya hanya melalui ponsel saja, atau jika pada hubungan yang berkelebihan harta, maka juga dapat menyalurkan cintanya melalui sejumlah transferan uang. Itu saja, tidak lebih.

Selanjutnya jika yang menjadi persoalan adalah: nanti bagaimana jika ternyata selingkuh?

Sebelumnya, saya akan tegaskan satu hal:

Seseorang berselingkuh karena dirinya memilih—dengan kesadaran penuh—untuk berselingkuh. Karena tidak ada yang namanya tidak sengaja berselingkuh.

Maka apabila pacar kita jalan/makan/mabuk/nonton/bahkan tidur dengan lawan jenis lain, kendati Anda memastikan bahwa dia sendirian dengan meminta bukti PAP, ketahuilah, bahwa hal itu tak akan dapat mencegahnya berselingkuh.

Solusi?

Biarkan, lalu campakkan saja dia.

Namun, terlepas dari apapun yang bersengkarut di atas, itu semua kembali pada preferensi hubungan tiap pasangan. Sepanjang keduanya tidak keberatan untuk saling mengabari beserta mengirim PAP di setiap aktivitasnya, maka tidak ada masalah dengan itu.

Jika memang keduanya tidak ada yang terbebani, ya apa salahnya?

Akan tetapi perkara memberi kabar itu menjadi persoalan yang cukup destruktif jika salah satu diantara mereka terbebani. Misalnya, salah satu di antara mereka mengharuskan untuk memberi kabar dan PAP foto, sementara yang satunya bahkan tidak mau ambil pusing untuk memberi kabar, masa bodoh. Maka wajar bila terjadi konflik yang tak berkesudahan karena hal tersebut.

Masalahnya, kendatipun si pacar tetap baik-baik saja tanpa harus mengabari, beberapa orang akan marah dan ribut karena hal ini. Padahal, lupa memberi kabar tentu bukan hal yang disengaja, tetapi entah kenapa orang-orang tetap saja memilih untuk meributkannya.

Saya hanya menyayangkan apabila persoalan lalai, lupa atau tak sengaja mengabari aktivitas harian saja, ternyata dapat menjadi persoalan yang berbuntut konflik yang tak berkesudahan.

Belakangan ramai dikeluhkan, beberapa orang ternyata juga menceritakan pacarnya yang kerap mengomel saat dirinya baru bangun tidur, lantaran dirinya tidak izin terlebih dahulu saat tak sengaja tertidur ketika sleep call. Hei, yang benar saja! Apakah benar-benar tidak ada persoalan lain untuk dipertengkarkan?

Oleh karena itu, perlunya dalam setiap hubungan untuk menyepakati setiap persoalan yang sebelumnya tak pernah disepakati. Kemudian setelah diperbincangkan dan didiskusikan mengenai hal tersebut, jika memang dirasa banyak ketidakcocokan, ya untuk apa dilanjut?

Saya pikir jika tetap dilanjut, hal itu hanya akan menyiksa pikiran serta psikis antara satu sama lain. Itulah kenapa kesanggupan dalam menerapakan rasionalitas sangat diperlukan di sini. Maka jangan sampai kita justru terjebak dalam kungkungan emosi cinta yang tak ada habisnya. Toh, semua ini demi kebaikan dan kenyamanan masing-masing.

Pembahasan mengenai esai di atas adalah dalam konteks pacaran, tentu bukan dalam konteks pernikahan atau berumah tangga. Kalau mengenai rumah tangga, jelas akan berbeda lagi pembahasannya.

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media (X and Instagram) @antielitis