Mengapa Demo?

Han Abadie
5 min readAug 25, 2024

--

By me

Pada saat-saat sebelumnya, saya pun tak memahami (atau lebih tepatnya belum mencoba memahami), mengapa banyak orang rela berpanas-panasan, berteriak-teriak, marah-marah, membakar ban di tengah jalan, berseteru dengan aparat, berlari-larian, berbuat rusuh, membuat kericuhan, merusak fasilitas umum, bahkan hingga saling melukai dan terjadi pertumpahan darah?

Bukankah, kita cinta damai? Bukankah kerusuhan seperti itu jelas jauh dari mencerminkan cinta kedamaian?

Beruntung, saya masih bisa menggunakan kemampuan otak saya untuk berpikir dan memiliki kemauan untuk mencari tahu: alasan massa aksi itu rela berbuat hal sedemikian rupa.

Saya pun memperoleh jawabannya. Bahwa, mereka rela melakukan aksi hingga sedemikian rupa, karena mereka tak punya cara lain lagi selain harus melakukannya. Mereka tak punya pilihan selain harus berdemonstrasi.

Menurut KBBI, demo adalah kependekan demonstrasi, yang berarti: pernyataan protes yang dikemukakan secara massal; atau bisa juga disebut dengan unjuk rasa.

Apakah yang dilakukan oleh massa dalam aksi-aksi itu sesuai dengan definisi pada KBBI? Silakan dinilai.

Apabila massa sedemikian banyaknya memprotes atau berunjuk rasa, itu artinya, mereka telah dirugikan oleh suatu pihak. Tak mungkin ada asap jika tidak ada api. Pastinya ada penyebab mengapa mereka melakukan demonstrasi. Masuk akal?

Oleh karena itu, hanya orang-orang gila yang melakukan demonstrasi tanpa ada sebab yang merugikan mereka. Percaya atau tidak, demonstrasi yang dibayar seharga 50 ribu hingga 300 ribu per kepala itu nyata adanya.

Bukti?

Baiklah, ini dia:

Bagaimana demonstrasi bisa terjadi?

Penyebab demo bisa bermacam-macam. Pastinya, objek demo adalah trias politica.

Singkatnya, demonstrasi dilakukan untuk mendesak tiga pilar kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan kata lain, demonstrasi hanya digelar untuk menggeruduk istana Presiden, kantor Gubernur, dan kantor Bupati, atau Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), atau Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).

Jika massa mendemo salah satu lembaga, maka bisa dipastikan, ada yang salah dengan lembaga tersebut.

Sebagai contoh, kasus yang baru ramai pertengahan Agustus ini oleh DPR RI yang mengangkangi putusan MK. Padahal, putusan MK bersifat final dan mengikat. Itu artinya, tidak ada yang boleh mengganggu gugat apalagi menganulir putusan MK.

Akibatnya ulah itu, berbagai kelompok, termasuk mahasiswa, buruh, dan siapapun yang terzalimi, menggelar demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR RI dan beberapa kota lain di seluruh Indonesia pada Kamis lalu. Mereka menuntut DPR agar mematuhi putusan MK dan mengakhiri praktik politik yang sembrono.

Fungsi demo

Idealnya, dalam berunjuk rasa, pemerintah harus turun, menapak tanah, mendengarkan aspirasi rakyat untuk bermediasi. Karena bagaimanapun, kekuasaan tertinggi dalam demokrasi adalah rakyat. Apabila massa rakyat terus berunjuk rasa, maka pemerintah harus mengabulkan kemauan rakyat, karena vox Populi, vox Dei. Terlebih, jika kemaksiatan politik sudah dilakukan dengan terang-terangan tanpa sedikitpun rasa malu.

Memang, sepintas massa tampak seperti orang-orang aneh. Berteriak-teriak, berorasi tapi tak ada yang peduli. Itu artinya, sering kali pemerintah mengabaikan rakyat. Mustahil pemerintah tidak mengetahui jika gedungnya didemo. Apa yang dilakukan pemerintah? Kabur entah kemana.

Satu hal yang perlu dipahami dan diyakini, bahwa aksi demonstrasi tak pernah sia-sia. Memang, pemerintah tak seketika lengser sebagaimana di era Soeharto. Namum, aksi demonstrasi itu muncul di berita, di koran, di majalah, di media-media nasional dan disaksikan oleh banyak orang di seluruh penjuru negeri. Media massa pasti akan meliputnya, mendokumentasikannya, dan menyimpannya sebagai catatan kelam sejarah.

Hasilnya, semua orang akan tahu. Orang-orang akan mengerti jika banyak massa telah berunjuk rasa, banyak orang telah menggelar aksi. Itu berarti, ada yang tidak beres dengan kinerja pemerintah.

Pelan tapi pasti, cara seperti itu akan segera menyadarkan banyak orang. Para aktivis pro-demokrasi memang harus terus bersabar dan berjuang.

Lantas, mengapa mereka rela marah-marah, bahkan berteriak-teriak di tengah panasnya jalanan?

Alasannya, jika tidak demikian, massa hanya akan terus menerus mendapat pengabaian dari pemerintah. Sebagaimana aksi Kamisan yang sudah sebanyak 828 kali dikacangi dalam menuntut keadilan para korban pelanggaran HAM semenjak 17 tahun silam. Mereka berdiri di depan istana, sepekan sekali, setiap hari Kamis sore, sebanyak 828 kali melakukan itu, dan apa hasilnya? Nihil.

Lalu, bagaimana kerusuhan bisa terjadi?

Penyebabnya bisa apa saja. Pada dasarnya, koordinator aksi sudah semestinya merancang agar aksi berjalan dengan baik tanpa harus berbuat kericuhan. Hanya saja, bagaimanapun, kerusuhan hanya bisa dicegah dan dihindari, tidak bisa dipastikan tidak akan terjadi kerusuhan.

Sebab, potensi kerusuhan itu bisa disengaja maupun tidak disengaja. Ada oknum provokator yang memang sejak awal mempunyai niat busuk untuk memecah belah dan mempunyai kepentingan lain. Salah satu di antara tujuannya yakni, membuat framing bahwa biang kerusuhan adalah objek yang dirusuh.

Saya beri bayangan singkat:

Bayangkan massa mahasiswa dan masyarakat mengadakan demonstrasi dengan damai. Tujuannya sederhana, pemerintah datang menemui massa, dan bermediasi, maka masalah selesai.

Namun, di antara mereka, terdapat provokator yang menyamar sebagai mahasiswa, mengenakan almamater. Provokator ini diam-diam mulai memicu keributan, melempar batu ke arah massa polisi. Akibatnya, polisi pun terprovokasi, membalas melempar batu yang lebih besar, dan mengenai kepala salah seorang mahasiswa.

Selanjutnya, kejadian itu disaksikan oleh mahasiswa lain, dan turut membela temannya, bersama-sama membalas serangan, melempari batu dengan jumlah yang banyak. Seketika kerusuhan meletus, provokator tersebut mengarahkan perhatian dan menyalahkan peserta demo yang lain sebagai penyebab utama kekacauan.

Media massa pun meliput dan membingkai sebuah peristiwa dengan framing, bahwa mahasiswa lah yang mulai beramai-ramai melempari batu.

Kasus lain, di antara kerumunan massa yang berdesak-desakan, oknum provokator ini bisa saja meludahi atau mencaci maki objeknya lantas kemudian bersembunyi, sehingga objek yang diprovokasi pun terpicu untuk membalas ke sembarang orang di depannya, dan terjadilah kerusuhan berskala besar.

Kasus seperti di atas sering kali terjadi dalam aksi demonstrasi. Korban kejadian seperti itu bisa dari pihak kepolisian maupun demonstran. Yang jelas, dalam aksi demonstrasi, provokator itu tak bisa dipungkiri kehadirannya. Baik pihak polisi maupun demonstran, semua pihak wajib mewaspadai hadirnya provokator.

Jika seperti itu, kenapa harus demo?

Harus, karena hanya dengan itulah jalan satu-satunya agar suara rakyat terdengar oleh pemerintah dan segera dituntaskan. Akan tetapi jika tidak bisa atau tidak mau bergabung, maka tidak masalah. Asalkan, tetap mendukung penuh, tidak perlu mengolok-olok dan menghardik demonstran, apalagi menyebut bahwa demonstran hanya merusuh.

Cara pandang yang picik itu harus segera disudahi. Sebab, pemikiran yang demikian itu datang dari orang naif yang bahkan tidak menyadari jika dirinya sudah terdampak. Persoalan-persoalan yang dikeluhkan setiap hari nyatanya adalah dampak dari kebijakan politik yang sungsang dan kemaksiatan pemerintah. Tak perlu menunggu lama apalagi terdampak dahulu untuk menyesali perbuatan bodoh. Segera menyadari kebodohan, jelas akan lebih baik. Lebih cepat sadar, lebih baik.

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @antiliteracy & Instagram: @naradamping