Memahami Masalah Hidup dengan Etika Komunikasi dan Tanggung Jawab

Han Abadie
3 min readJan 2, 2024

Source: Pinterest

Dalam hidup, mendapati kondisi bahwa kita berada dalam masalah adalah suatu keniscayaan. Siap menjalani hidup maka harus siap pula dengan konsekuensi akan berjumpa dengan masalah-masalah di dalamnya. Ketiadaan masalah hanyalah jeda antara masalah saat ini dengan masalah selanjutnya. Karena kita tidak dapat lepas dari yang namanya masalah. Selesai satu masalah, timbul masalah baru, dan akan selalu seperti itu, terus-menerus hingga mati.

Seperti ungkapan atau respon orang-orang pada umumnya:

"Ya namanya juga hidup"

Namun, beberapa dari kita merasa bahwa masalahnya lah yang paling berat, dan merasa orang lain harus menganggap permasalahan kita sebagai suatu hal yang menarik, sehingga harus diketahui oleh khalayak. Kita sering kali melakukannya tanpa kita sadari.

Agar lebih mudah, saya paparkan satu contoh kasus:

Barangkali kita pernah melihat seorang kawan (atau bisa jadi malah kita sendiri) yang di hari-hari biasanya raut wajahnya fun-fun saja seperti tidak ada masalah, tapi di suatu hari yang random ia menampakkan raut wajah yang murung, sedih, atau bahkan seperti orang yang hendak mencari masalah dengan kita.

Kemudian ketika ditanya, "What is wrong with you?", ia hanya menjawab "Gapapa, sih." atau hanya menggeleng cepat dan mengangkat bahu. Pada suatu momen, orang seperti ini malah merasa risih kemudian kesal jika ditanya-tanya lagi. Tidak ingin masalahnya diketahui orang lain.

Ini agak aneh (setidaknya menurut saya), sebab dengan menampakkan raut wajah yang menjengkelkan, hal itu menunjukkan tingkah yang tidak seperti biasanya, sehingga menimbulkan pertanyaan bagi orang lain yang memandangnya, kemudian orang-orang pada umumnya akan menebak-nebak, lalu berprasangka. Begitu alurnya.

Jikalau memang hendak menyembunyikan masalah, maka sudah sepantasnya ia (atau kita sendiri) tidak perlu menampakkan raut muka yang menjengkelkan itu. Atau jika memang hendak menunjukkan kepada orang-orang, maka jelaskan saja jika kita sedang memiliki masalah.

Jangan setengah-setengah!

Sebab, nurani dan akal budi orang-orang pasti akan mempedulikannya, lantas menanyakan apapun mengenai diri kita.

Maka yang memicu orang lain bertanya tentang masalah kita, itu pada dasarnya adalah kita sendiri. Kita sendirilah yang menimbulkan kecurigaan lantas membuat orang-orang bertanya tentang kita. Betapa anehnya jika ketika kita dipedulikan justru malah merasa risih.

Mungkin kita ingin agar orang lain tidak perlu berprasangka, tapi bersamaan dengan itu, kita malah memicu orang lain untuk berprasangka, bahkan berpikir yang tidak-tidak tentang kita.

Prasangka itu normal, karena itu naluriah, dan hanya itulah yang bisa dilakukan oleh manusia jika ingin mengetahui sesuatu, sebelum pada akhirnya kemudian bertanya. Manusia tidak berprasangka tanpa sebab, manusia berprasangka karena adanya indikasi.

Cukuplah menjaga ekspresi dan raut wajah kita supaya tidak membuat orang lain merasa tidak nyaman, jangan sampai raut muka yang menjengkelkan itu mengganggu orang lain. Ini soal etika!

Alih-alih terlihat keren, hal itu justru menunjukkan ketidakmampuan kita untuk bersikap bijaksana dalam menghadapi masalah, tidak dewasa. Childish! Masalah siapa yang terdampak juga siapa. Kenapa orang lain juga harus ikut menanggung masalah kita?

Ketika sedang kita tertimpa masalah, maka hal itu merupakan tanggung jawab kita sendiri yang mana kita sendiri pula yang harus menuntaskannya. Mau tidak mau, kitalah yang bertanggung jawab atas itu. Dan jangan sampai orang lain ikut menanggung masalah kita (kecuali jika ia memang menawarkan diri untuk membantu). Itu meresahkan.

Lain halnya jika memang kita ingin orang lain tahu dan membantu kita, maka kita perlu melakukan sesuatu agar orang lain peduli lantas menanyakan kondisi kita: Dengan sikap dan tingkah yang aneh, misalnya. Maka silakan saja jika bermaksud demikian.

Oh, atau malah jika berterus terang menjelaskan masalah (orang-orang berpendidikan menyebutnya "komunikasi asertif"), meminta bantuan, curhat atau konsultasi supaya menemukan solusi, itu juga justru lebih bijaksana. Sehingga tidak perlu ada drama kode-kodean sebagaimana yang ditemui pada banyak permasalahan hubungan anak muda saat ini.

Karenanya, masalah merupakan bagian dari hidup, dan hidup kita akan selalu berdampingan dengan masalah. Maka bukankah sudah sepantasnya kita menganggap "masalah" merupakan hal yang lazim karena itu bagian dari hidup?

Oleh karena itu, kita perlu berlatih untuk membiasakan diri agar memiliki rasa bertanggung jawab atas masalah-masalah yang kita hadapi, tanpa melibatkan orang lain bahkan mengganggu mereka. Sebab manusia lain juga memiliki masalahnya sendiri.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

Han Abadie
Han Abadie

Written by Han Abadie

A Possibilist, Indonesian writer. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @ekstapol

No responses yet

Write a response