Melatih Kemampuan Objektivitas melalui Prinsip Jurnalisme

Han Abadie
5 min readMay 10, 2024

--

Photo by Markus Winkler on Unsplash

Pemilu 2024 telah berlalu.

Namun, suatu pandangan, citra, persepsi, diskursus atau apapun itu yang melekat pada tokoh politik boleh jadi akan sulit untuk dilepaskan. Terutama di saat melihat sejumlah dari politikus yang mengubah arah politiknya setelah keputusan KPU dan MK didekretkan.

Seseorang yang sebelumnya menaruh harapan besar pada tokoh politik itu, bisa jadi akan kecewa berat saat melihat pemandangan tersebut, karena ia merasa dirinya telah dikhianati. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi masalah, dan wajar saja jika banyak orang demikian.

Kabar baiknya, Anda tidak sendirian, karena banyak juga orang yang seperti Anda. Hal itu mungkin saja terjadi lantaran seseorang menggunakan pandangan subjektifnya dalam memandang dinamika politik. Asal tahu saja, kekecewaan itu tidak terjadi pada seseorang yang menggunakan kacamata objektivitasnya dalam memandang dinamika politik.

Tidak percaya?

Baik, saya coba jelaskan agar dapat diterima oleh akal sehat pembaca.

Sebagai seorang mahasiswa yang bergabung dalam organisasi pers, saya merasa memiliki kewajiban untuk mengejawantahkan pemahaman seorang pers (yang semestinya) kepada khalayak yang (mungkin saja) sedikit naif dalam memandang gejolak politik.

Begini, dalam disiplin jurnalisme, seorang jurnalis tidak diperbolehkan untuk netral, karena netral itu berarti tidak memiliki independensi. Padahal, di saat menjumpai isu atau berita buruk yang menyangkut urusan publik, seorang jurnalis diharuskan untuk tetap meliputnya, tidak peduli berita buruk itu ada di pihak siapa. Apabila jurnalis netral, maka ia hanya akan diam saja di saat melihat masyarakat yang tertindas lantaran kebijakan pemerintah yang buruk. Oleh sebab itulah, seorang jurnalis diwajibkan untuk memihak, memihak kepada kebenaran; memihak kepada kaum yang tertindas, memihak kepada korban; memihak kepada masyarakat; karena jurnalis ditugaskan untuk mengabdi kepada masyarakat.

Maka, jurnalis itu netral adalah paham yang benar-benar keliru.

Namun, apakah pers selalu benar? Apakah pers sudah pasti mutlak membawa kebenaran?

Mengenai hal itu, saya sudah pernah menuliskannya di sini.

Saya anggap pembaca sudah mengerti poin satu itu. Selanjutnya, lantaran jurnalis itu mengharuskan untuk bersikap independen, maka, semestinya jurnalis tidak akan memihak paslon atau partai politik tertentu.

Saya paham betul bahwa, sejumlah media massa memang dimiliki oleh politikus, sebut saja namanya Holap Ayrus. Dia adalah seorang politikus sekaligus memiliki perusahaan media massa, penguasa yang juga pengusaha. Dari sini mungkin ada yang bertanya:

Nah, katanya media massa memihak publik. Bagaimana itu?

Memang betul, akan tetapi dalam praktiknya ternyata tidak sesederhana itu. Tidak salah apabila seorang politikus memiliki perusahaan media massa, sepanjang media massa yang dia miliki itu tidak mewartakan berita bohong, itu tidak mengapa.

Hanya saja, yang diberitakan oleh media massa tersebut, mungkin hanya memberitakan berita positif atau yang baik-baiknya saja mengenai paslon atau partai yang dimiliki oleh taukenya. Tentu mustahil bila media massa yang ia miliki justru juga memberitakan buruk-buruknya mengenai paslon yang diusung oleh partainya sendiri. Aneh betul.

Upaya Holap Ayrus itu dilakukan demi melancarkan hasratnya agar partai yang ia miliki dapat memenangkan kompetisi pemilu. Jangan dibandingkan dengan kita yang bukan siapa-siapa, seseorang dengan power yang sedemikian besarnya itu jelas mempunyai lebih banyak opsi untuk mewujudkan apa yang ia mau, termasuk memengaruhi opini dan arah politik masyarakat supaya mendukung dan memilih paslon yang diusung oleh partai miliknya.

Menjawab pertanyaan:

Katanya media massa memihak publik. Bagaimana itu?

Maka jawabannya adalah: memang benar, media massa yang dimiliki Holap Ayrus sungguhan memihak publik.

Hanya saja, publik yang dimaksud adalah publiknya sendiri, yaitu penggemar parpolnya, atau seseorang yang fanatik dengan saluran televisi miliknya, atau mungkin bahkan dengan yang fanatik terhadap dirinya sendiri.

Tidak ada yang salah dengan pernyataan sebelumnnya. Clear?

Sebelumnya, sepertinya saya perlu menegaskan bahwasannya, tidak semua pers yang ada di negara ini telah dipolitisasi, tidak semua media massa itu dimiliki oleh politikus. Pers yang dipolitisasi itu hanya sejumlah dari total keseluruhan pers di negara ini saja. Bukan berarti seluruh pers di negara ini juga pasti demikian.

Lagi pula, sejauh ini Dewan Pers tidak pernah mempersoalkannya. Sepanjang tidak melanggar kode etik dan undang-undang pers, tidak ada masalah dengan hal itu, karena hal “itu” sudah menjadi rahasia umum (bagi orang yang paham saja).

Melanjutkan poin di atas tadi, lantaran seorang jurnalis dituntut untuk independen, maka jurnalis harus objektif dalam melaporkan sebuah berita. Seorang jurnalis, harus memberitakan apa adanya, apa saja yang dikatakan oleh narasumber, maka itulah yang diberitakan.

Tersebab hal itulah, jurnalis — yang semestinya — tidak peduli dengan tendensi pada salah satu partai atau paslon. Karena ia memang tahu betul informasi baik-buruk dari masing-masing kandidat dan partai tersebut. Maka, akan tampak aneh apabila jurnalis tendensius ke salah satu arah politik. Itu jelas ganjil dan konyol.

Anggaplah saya seorang jurnalis sungguhan (meski hanyalah seorang staf di organisasi pers kampus), dengan idealisme saya yang sekarang ini, seandainya saja kandidat yang saya anggap baik itu memenangkan Pemilu, tetapi ternyata di kemudian hari ia malah berseleweng atau mendekretkan kebijakan yang merugikan banyak orang. Maka, tidak peduli siapa penggemarnya, siapa dia di masa lalu, saya akan tetap melayangkan kritik kepadanya.

Oleh karena itu, bagi orang-orang yang merasa berpandangan sinis terhadap jurnalis atau media massa karena kerap kali memberitakan informasi yang buruk mengenai kandidat yang kalian kultuskan itu, saya sarankan, sebaiknya untuk segera bertobat dari kenaifan.

Apabila media massa memberitakan keburukan seseorang, itu karena memang keburukan tersebut akan berdampak buruk pada kebijakan publik. Contohnya? Lihatlah yang terjadi pada kasus SYL! Dia itu baru satu tokoh politik yang bajingan saja. Boleh jadi masih banyak yang tak terungkap dan tak terendus lainnya.

Namun, ada kalanya, barangkali kasus berita buruk tersebut, tidak disangka-sangka, pelakunya ternyata adalah tokoh politik yang Anda kultuskan. Maka, terima lah saja fakta buruk itu. Jangan malah mengolok-olok dan menuduh pers yang tendensius dan penebar kebencian. Itu adalah pola pikir yang aneh sekaligus dungu! Semestinya Anda malu jika berpikiran seperti itu.

Bedanya, hal itulah yang para jurnalis tidak pedulikan, mereka tidak peduli siapa yang berbuat jahat, siapapun korbannya, siapapun penggemarnya, maka apapun resikonya, mereka akan tetap mewartakannya. Tidak ada urusannya dengan memihak siapa dan membenci siapa, karena peran pers adalah watch dog dalam demokrasi.

Maka dari itu, saya rasa, prinsip dan pola pikir itulah yang sekiranya juga dapat diejawantahkan dalam pola pikir masing-masing pembaca, agar terlepas dari sikap fanatisme yang menyebabkan kepicikan yang mengkhawatirkan dalam memandang banyak hal di dunia ini, karena sesungguhnya, dunia ini tidak sehitam-putih yang kita kira. Malahan, dunia ini serba abu-abu dan dinamis.

Prinsip atau paham objektivisme ini sebenarnya tak hanya dapat diterapkan dalam memandang persoalan politik saja, akan tetapi juga dalam berbagai konflik, terutama dalam penyelesaian masalah. Kabar baiknya, kemapuan objektivitas itu sama sekali bukan bawaan mutlak dari kandungan atau bakat yang melekat. Kemampuan objektivitas itu dapat dilatih dan diupayakan, jika kita mau mengupayakan dan melatihnya.

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media (X and Instagram) @antielitis