Mahasiswa Aktivis dan Debat Kusir

Han Abadie
4 min readMar 6, 2024

--

Photo by Akson on Unsplash

Pernahkah Anda mendapati fenomena seorang murid yang pada awalnya biasa-biasa saja saat masih di bangku SMA, namun ketika kemudian ia memasuki dunia perkuliahan, ia berubah menjadi orang yang sangat berbeda?

Teman Anda? Pacar Anda? Atau malah diri Anda sendiri?

Saya berasumsi, terdapat beberapa orang murid yang (mungkin) awalnya pintar dan cenderung berprestasi, tapi ketika masuk dunia perkuliahan, keunggulan dirinya malah merosot, dan lebih parahnya lagi, dia menjadi orang yang termarjinalkan.

Tetapi ada juga murid yang awalnya cenderung pasif, apatis, atau bahkan bisa dibilang seperti orang ngah-ngoh. Namun saat masuk ke dunia perkuliahan, kini menjadi seorang aktivis; murid yang memang sedari awal sudah kritis, kini menjadi seorang kritikus, dan begitu juga sebaliknya. Demikianlah, banyak sekali transformasi yang tidak disangka-sangka terjadi begitu ekstrem dalam dunia perkuliahan.

Omong-omong soal mahasiswa aktivis, jika menengok kesehariannya di kampus, maka kegiatan mereka tidak jauh-jauh dari berorganisasi. Ketika mereka berorganisasi—terutama yang masuk dalam kancah politik seperti BEM, DPM dan LPM—, berdebat sudah barang tentu menjadi hal yang lumrah di kalangan mereka. Perdebatan adalah konsumsi sehari-hari, dan tentunya tidak ada yang salah dengan itu. Boleh jadi, hal itu justru bagus untuk mengasah kemampuan argumentasi mereka.

Namun, saya pikir berdebat tidak selamanya baik

Mengapa?

Karena sejumlah dari mereka agaknya gemar mengutarakan argumennya tanpa berlandaskan fakta, berargumen suka-suka atau berargumen serampangan. Lucunya, sepertinya mereka-mereka ini justru merasa bahwa dirinya keren, bangga dengan hal itu. Well, sebut saja oknum ini ‘Aktivis Keblinger’.

Begini, memang betul kemampuan argumentasi mereka mungkin terasah, iya betul. Tetapi agaknya, yang mereka asah semata-mata adalah argumentasi sampah saja, kosong. Yang mana sebetulnya argumen-argumen tersebut mungkin hanyalah argumen asal-asalan, diutarakan dengan bahasa yang ditinggi-tinggikan, agar terkesan sebagaimana orang intelek pada umumnya.

Padahal boleh jadi argumen yang seperti itu belum tentu kredibel, gaco nyangkem atau waton njeplak kalau istilah Jawanya, yang penting ngomong, benar salahnya belakangan. Masa bodoh dengan kredibilitas.

Akan tetapi baiklah, tidak masalah.

Karena bagaimanapun juga, argumentasi tetaplah argumentasi. Meskipun argumen tersebut barangkali tidaklah bermutu.

Namun ironisnya, hal ini akan sangat menyedihkan apabila sudah menjadi kebiasaan. Sudah terbiasa beragumen serampangan; tidak berdasarkan fakta; membuat justifikasi sekenanya. Saya antara ngeri dan geli membayangkannya, karena orang seperti ini tampaknya tidak sedikit (but, I don’t know, I’m not sure about this).

Mengapa saya begitu mempersoalkan ini?

Sebab, saya pikir perdebatan yang seperti itu hanya akan menurunkan level intelektualitas dan kapabilitas diri serta merusak kualitas perdebatan itu sendiri. Orang naif boleh jadi akan memuji argumen konyol para Aktivis Keblinger ini, tapi tidak demikian dengan orang yang ‘mengerti’.

Masalahnya, seberapa banyak orang yang ‘mengerti’ itu?

Inilah yang menjadi persoalaan:

ketika banyak dari orang naif tersebut justru memuji-muji dan menganggap benar Si Aktivis Keblinger ini.

Perdebatan idealnya menghasilkan ide dan gagasan baru, atau setidaknya menghasilkan kesepakatan baru yang lebih brilian karena itulah hasil dari perkelahian pikiran orang-orang. Perdebatan yang sehat seperti itu sangat keren, bukan?

Tapi apa?

Esensi yang keren ini seakan-akan sirna, rusak akibat oknum-oknum penggemar debat kusir. Debat yang keren itu menjadi debat yang sampah, sehingga beberapa orang yang mendengarnya pun risih ketika mendengar Aktivis Keblinger berdebat bagaikan orang senewen tersebut, orang yang risih mendengarnya pasti menginginkan perdebatan itu usai, "Sudahlah debat mulu, kek apa aja."

See?

Meresahkan sekali

Ya karena memang debat kusir sampah itu sama sekali tidak enak didengar oleh telinga. Orang lain bahkan ada yang terzalimi oleh perdebatan para Aktivis Keblinger ini.

Apa salahnya kalau mengaku tidak tahu? Kenapa merasa minder ketika orang tahu bahwa diri kita tidak tahu?

Tidak mengetahui sesuatu toh bukan suatu perbuatan kriminal, dan bukan juga hal yang hina apa lagi aib. Mengakui ketidaktahuan itu tidak salah, dan sama sekali tidak berarti bahwa diri kita bodoh. Hal itu jauh lebih baik ketimbang tidak tahu apa-apa tapi berpretensi seolah-olah sungguhan berpengetahuan.

Sebab, orang yang bijaksana tentu ia bisa mengukur pengetahuannya sendiri. Sehingga jika ia tidak tahu akan suatu hal, maka ia akan katakan bahwa dirinya memang tidak tahu. Ibnu Umar lah yang mengatakannya, bukan saya yang bilang, saya hanya mengutip.

Namun terlepas dari omelan panjang di atas, saya masih percaya bahwa akan tetap ada ‘Aktivis Waras’ yang mau menjaga kualitas debat mereka; intelektualitas mereka; perkataan mereka; kerendahan hati mereka, dsb. Supaya dapat membenahi persepsi orang-orang dan menghapus stigma tentang perdebatan.

Epilog

Pembaca boleh saja berang karena tersinggung setelah membaca tulisan ini sampai akhir.

Bagus!

Maka idealnya orang bijak akan merenung karena tulisan ini. Akan tetapi, jikalau malah tersinggung dan tidak terima, ya boleh-boleh saja.

Tapi satu hal penting: tulisan ini adalah refleksi diri dari penulis.

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media (X and Instagram) @antielitis