Krisis Inkompetensi dalam Pengambilan Keputusan dan Pengaruhnya

Han Abadie
5 min readApr 6, 2024

--

Photo by Nick Fewings on Unsplash

Dalam hidup, manusia selalu dihadapkan dengan beragam keputusan, dari yang remeh hingga yang serius, dari yang kecil hingga yang besar, dari yang sederhana hingga yang rumit. Pembaca mungkin ada yang abai dengan fakta bahwa, sebagian besar takdir kita adalah hasil dari akumulasi keputusan-keputusan kita di masa lampau. Entah itu hasil dari keputusan besar atau kecil, serius atau remeh, simpel ataupun rumit.

Bahkan, saat pembaca tulisan ini di Medium, artinya—disadari atau tidak—Anda telah mengambil keputusan untuk membaca tulisan ini. Melalui klik pada tautan (entah dari cerita Instagram saya, atau postingan X saya) lalu diarahkan menuju platform Medium. Yang jelas, Anda telah memutuskan untuk melalui serangkaian langkah itu untuk kemudian membaca tulisan ini. Dan kita berpikir seolah-olah semuanya terjadi begitu saja.

Photo by Emma Frances Logan on Unsplash

Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan, Han?

Belakangan, saya resah akan suatu hal. Mungkin ada dari beberapa diantara pembaca yang risih dengan ujaran “Terserahlah!”, “Bebas aja”, “Ngikut aku mah” dan berbagai ujaran senada dengan itu. Atau bahkan jangan-jangan malah ada diantara pembaca adalah bagian dari oknum yang gemar menerapkan ujaran-ujaran itu?

Sebenarnya ini tak menjadi masalah yang serius pada awalnya. Akan tetapi hal ini bisa saja menjadi persoalan yang serius jika sudah menjadi kebiasaan impulsif.

Sebagai contoh kasusnya, saya paparkan cerita singkat:

Anggaplah saya sedang mengajak teman perempuan saya makan malam setelah seharian bermain, kemudian di tengah perjalanan saya menanyakan “Mau makan apa?”, dia dengan—sadar atau tidak—sekenanya menjawab “Ya apa aja, bebas sih.”

Kemudian—sebagaimana yang ia mau—saya berhenti di depan warung favorit saya yang nyaris setiap pulang dari kuliah, saya mampir untuk makan siang di sana. Namun, dia malah menampakkan wajah murung dan tampak seperti tidak sudi makan di warung tersebut. Maka dengan polosnya, bertanyalah saya “Ga mau makan di sini?”, barulah dia berterus terang bahwa dia memang tak mau makan di warung itu.

Saya tanpa merasa bersalah sedikitpun menanggapi “Lha tadi katamu bebas mau makan di mana, kan?”. Tak disangka-sangka, dia justru menyalahkan bahwa saya lah yang tidak peka “Harusnya ya ke mana kek, ke tempat A, atau ke warung B misalnya.”

Saya membalas “Kenapa tidak sedari awal saja bilang begitu?” Namun itu hanya saya katakan dalam hati, karena saya yakin ujungnya pun tetap saja saya yang disalahkan. Maka saya pun bergeming dan hanya dapat bermuhasabah.

Baiklah, cukup cerita pendeknya. Anggap saja cerita itu fiktif.

Namun, terlepas dari fiktif atau tidaknya cerita itu, kasus serupa bukan hanya terjadi pada perempuan saja, melainkan juga laki-laki. Sama saja, saya tidak mengotak-ngotakkan gender untuk persoalan ini.

Pertanyaannya, apakah saya benar-benar bersalah dalam cerita itu?

Boleh jadi ada pembaca yang bersikeras menyalahkan saya lantaran saya memang tidak peka. Baiklah, saya minta maaf atas ketidakpekaan saya. Tapi dengan catatan: permintaan maaf itu saya lakukan demi melegakan pembaca semata, bukan berarti saya sungguhan merasa bersalah dan menyesalinya.

Lanjut, entah mengapa, saya justru berpikir dan bertanya-tanya:

Apakah bocah muda zaman sekarang benar-benar tengah dilanda krisis pengambilan keputusan?

Perkataan yang bernada seperti: “terserahlah”, “bebas aja”, “basing”, “nurut”, “ngikut” dan sebangsanya telah menjadi gramatika dalam bahasa sehari-hari. Yang entah sungguh kesulitan dalam menentukan keputusan, atau memang sekadar malas saja untuk serius dalam memutuskan sesuatu.

Dalam jangka panjang, jika kebiasaan seperti ini terus dilestarikan, maka bukan suatu hal yang mustahil apabila hal ini akan berdampak serius pada pengambilan keputusan-keputusan besar dalam hidup.

Sebab, di setiap keputusan pastilah terdapat konsekuensi setelahnya. Itu hukum mutlak.

Sebagai contoh:

Anggap saja Anda memutuskan untuk bermalas-malasan sehingga tidak berolahraga di usia muda. Maka konsekuensi yang didapat adalah, saat Anda menua nanti, Anda akan lebih cepat dan mudah sakit-sakitan ketimbang rekan-rekan Anda yang di masa mudanya rajin berolahraga.

Anggaplah, Anda memutuskan untuk childfree saat menikah nanti, maka konsekuensi yang didapat adalah, mungkin saja orang tua Anda akan mempersoalkannya. Atau bahkan, banyak dari orang naif yang mungkin akan memberi Anda sanksi sosial berupa pandangan ganjil terhadap hubungan Anda dengan pasangan Anda.

Apakah saya membenci childfree? Oh tentu tidak, saya tidak ada urusan dengan itu. Tapi realitanya memang demikian, bahwa menyengaja untuk tidak memiliki anak, adalah hal yang ganjil di mata kaum medioker.

Atau yang lebih sederhana saja, ketika Anda memutuskan untuk malas berpikir kritis, mudah percaya, dan suka mengikuti pilihan orang lain. Maka konsekuensi yang didapat adalah, Anda akan lebih mudah menyalahpahami dan keblinger, bahkan ditipu ketimbang mereka yang memutuskan untuk terbiasa berpikir kritis.

Atau dalam kancah perkuliahan, Anda memutuskan untuk selalu menunda mengerjakan skripsi, maka konsekuensi yang didapat adalah, Anda akan ditinggal lulus duluan oleh rekan-rekan seangkatan Anda. Lebih buruk lagi, dikarenakan tidak adanya rekan seperjuangan, boleh jadi Anda akan mengalami demotivasi untuk mengerjakan skripsi, bahkan hanya untuk sekadar memikirkannya semata.

See?

Hasil dari pengambilan keputusan yang dianggap sepele efeknya bisa tidak karuan terhadap garis takdir kita.

Itu hanyalah segelintir contoh dampak dari aspek konsekuensi saja. Masih ada dampak dari aspek lain seperti:

Nihilnya tanggung jawab dari krisisnya pengambilan keputusan

Saya pikir, jika seseorang tengah dilanda krisis pengambilan keputusan, dan kerap membebankan keputusan pada orang lain, maka, orang tersebut akan kehilangan komitmen dalam perkataan serta tindakannya. Karena, ujaran yang bernada seperti “terserahlah”, “bebas aja”, “basing”, “nurut”, “ngikut” dan sebangsanya, sudah cukup menunjukkan ketidakpedulian orang tersebut pada ucapannya.

Sebagaimana contoh kasus yang saya sertakan di awal esai tadi, hal ini akan sangat merepotkan pihak yang dibebani tanggung jawab tersebut.

Membebankan keputusan pada orang lain berarti melepaskan tanggung jawab dari keputusan tersebut pada orang lain.

Karena tidak menutup kemungkinan, Anda akan menyalahkan orang tersebut di saat keputusan yang ia ambil ternyata juga merugikan Anda. Karena saat hal itu terjadi, tindakan tersisa yang dapat Anda lakukan hanyalah menyalahkannya saja.

Oleh karenanya, jangan jadikan pembebaban keputusan hidup Anda pada orang lain menjadi sebuah kebiasaan, dan jangan sampai hidup Anda hanya menjadi penyulit bagi orang lain. Karena ditakutkan, Anda akan segera dijauhi banyak orang tanpa Anda sadari. Dan yang jauh lebih mengerikan lagi:

Tuhan pun ikut murka pada Anda, sehingga kemudian Anda akan diganjar nahas langsung olehNya.

Photo by Wesley Tingey on Unsplash

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media (X and Instagram) @antielitis