Filosofi “Setidaknya”: Mengeksplorasi Optimisme dan Realisme dalam Perspektif Kondisional

Penggunaan kata “setidaknya” dalam situasi yang kurang menyenangkan atau bahkan buruk, dapat membuat keadaan menjadi ‘terasa’ lebih baik. Ya walaupun mungkin tidak benar-benar lebih baik, sih. Tapi setidaknya dapat membuat kita merasa lebih baik, yang mana tentunya itu lebih baik daripada ‘merasa’ lebih buruk. Bukankah begitu?
Sebab, dengan kita menggunakan landasan berpikir “setidaknya” pada kondisi yang tidak disukai, hal tersebut dapat menjadikan kita merasa lebih bersyukur.
Contohnya?
Oke, semisal kita mendapat nilai 50 di UTS di semester kali ini. Ketimbang kita berpikir: “Seandainya saja aku belajar lebih giat, aku akan bisa mendapat nilai yang bagus.”, “Seandainya saja aku dapat 100, pasti aku akan senang.”
Kita justru berpikir: “Ya, setidaknya tidak dapat nol.”
Lalu bagaimana jika dapat nol?
Walaupun kecil kemungkinannya (kecuali memang kita tidak ikut ujian), lebih baik berpikir: “Ya, setidaknya aku mengerjakannya dengan jujur.”
Tapi bagaimana jika ternyata kita mendapat nol, dan itu pun dari hasil mencontek?
Yaa, barangkali sebaiknya memang kita tidak usah kuliah saja. Mengingat kuliah juga tidak menjamin kesuksesan, toh?
Lanjut, semisal contoh lain sederhana:
Ketimbang berpikir dan mengeluhkan, “Seandainya aku tampan, aku pasti bisa memikat banyak wanita”, “Seandainya aku tampan, pasti akan banyak orang yang memujiku.”
Lebih baik berpikir: “Setidaknya kalau aku disukai wanita, wanita tersebut memang tulus menyukaiku. Sebab, dia jelas bukan menyukaiku karena parasku.” (walaupun bisa jadi karena isi dompet kita, sih).
Atau mungkin: “Setidaknya aku jadi tidak pernah merasa besar kepala atau sombong karena dipuji, karena itu juga tidak baik, dan membuatku jadi lebih bermoral karena tidak semena-mena menggunakan ketampananku untuk kepentingan pribadi.”
Contoh lain:
“Andai aku kaya, aku akan lebih banyak bersedekah.”
Lebih baik berpikir: “Setidaknya aku masih bisa bersedekah, meskipun hanya sedikit. Tidak masalah. Yang penting tetap bersedekah.”
Satu lagi contoh terakhir:
Amit-amit, kita terkena musibah kecelakaan. Daripada berpikir: “Andai saja aku lebih hati-hati/andai saja aku tidak ditabrak/andai saja pengemudi mobil sialan itu tidak mabuk.”
Lebih baik berpikir: “Setidaknya aku tidak mati.”, “Setidaknya aku masih bisa diselamatkan.”, “Setidaknya aku masih punya kesempatan untuk berbuat hal baik lagi.”
Namun, prinsip seperti ini boleh jadi akan mendapat tuduhan bahwa terlalu memaksakan diri untuk harus selalu berpikir positif.
Tapi ya bebaslah, itu terserah bagaimana orang menilainya.
Tapi menurut saya, sebenarnya tidak juga. Prinsip ini lebih condong ke ‘memaksa’ kita untuk menerima apa yang terjadi, sebab memang hal yang sudah terjadi adalah suatu ketetapan, yang mana itu tidak bisa diulang kembali untuk diubah di masa lalu.
Karena mengulang dan mengubah takdir di masa lalu adalah suatu hal yang mustahil. Bukankah begitu? (Lupakan soal mesin waktu, saya tidak sudi membahasnya, jangan berkhayal!). Serta ‘memaksa’ kita untuk melihat dari sudut pandang lain bahwa, pada kenyataannya kita tidak seburuk itu, tetapi pikiran kitalah yang memperkeruh keadaan yang kemudian membuat seolah-olah segalanya menjadi terasa lebih buruk.
Padahal kenyataannya, yaa barangkali kita hanya sedang tidak beruntung saja. That’s all! Tidak usah dilebih-lebihkan. Lebay. Dan adalah fakta bahwa, terlalu sering berseandainya-seandainya, itu hanya membuat kita merasa bersalah, gagal, menyesal, capek, terpuruk, dan jauh dari kata bersyukur. Dan tentu saja tidak enak didengar (untuk beberapa orang).
Dikarenakan pada kenyataannya, mereka yang sudah berkelebihan juga tetap saja masih berkesempatan mengeluh jika ia mau. Contohnya: “Seandainya aku lebih cantik/lebih langsing.” Waduh, padahal sudah banyak sekali orang di hidupnya yang memujinya cantik.
Bagaimana? Familiar dengan kasus serupa? That’s so fuckin annoying isn’t?
Maka, penggunaan kata “setidaknya” boleh jadi sangat diperlukan di sini. Saya tidak mengatakan berseandainya-seandainya itu tidak boleh apalagi melarangnya. Oh, tentu saja tidak.
Saya hanya mengatakan bahwa berseandainya-seandainya itu tidak perlu dilebih-lebihkan, dan akan lebih baik untuk dikurangi saja. Demi kebaikan mental dan pikiran yang sehat, serta tidak membuat risih orang mendengarnya.