Dilema Keputusan Mengganti HP Baru

Han Abadie
3 min readOct 10, 2024

--

Pict by samsung.com

Malam itu, usai meliput aksi demonstrasi mengenai represi mahasiswa oleh polisi, yang dihadiri seluruh lapisan masyarakat, diprakarsai oleh aliansi BEM se-Solo Raya di depan Gedung DPRD Surakarta, adalah awal dari segala masalah ini bermula. Sepintas tak ada masalah signifikan, meski dalam aksi itu hampir terjadi kericuhan akibat provokasi massa oleh gerombolan berbaju hitam-hitam. Hingga saat perjalanan pulang, salah seorang mahasiswa berseru, “Hidup mahasiswa!” dengan lantang.

Seruan itu disambut oleh rombongan demonstran dan teman di sisiku (sebut saja namanya Anto), seraya mengacungkan tinju ke arah langit dan berseru keras, “Hidup mahasiswa!” Nahas, HP yang sedang kugunakan untuk menulis naskah berita aksi barusan tersambar oleh kepalan tangannya. Kedua tanganku pun cekatan menadah, tapi gagal, dan HP itu terjatuh, membentur kerasnya jalan aspal.

Kupandangi layar HP-ku yang telah retak. Tapi kupikir itu hanya tempered glass-nya saja. Sejenak kuabaikan hal itu meski sambil memaki. Sayangnya, pikiran itu keliru. Keesokan harinya, kucoba untuk melepas lapisan tempered glass yang menempel di HP-ku. Anehnya, ada pecahan kaca yang ikut menempel di tempered glass yang kulepas. Perasaanku mulai tak enak. Itu artinya, bukan hanya tempered glass-nya yang retak, tetapi juga layar HP-ku.

Awalnya, secara fungsional, HP-ku masih bisa berfungsi dengan baik. Layar yang pecah itu tak terlalu mengganggu saat kugunakan. Namun, lambat laun, masalah pada HP pasca-jatuh malam itu mulai bermunculan. Gangguan ghost touch mulai kerap terjadi, meski masih dapat kuatasi dengan mematikan dan menghidupkan layar sejenak. Kemudian, masalah baru muncul — HP mulai tiba-tiba me-restart terus menerus dalam dua pekan terakhir.

Kucoba untuk menyerviskannya ke kenalanku. Katanya, dia belum tahu pasti penyebab HP itu bermasalah. Bisa jadi karena mesinnya, dan jika mesinnya sudah terkena, servis jelas bukan opsi yang tepat. Lebih baik ganti yang baru.

Aku maju mundur memutuskan untuk membeli HP baru. Kala itu, aku sempat gegabah ingin segera menggantinya. Secepat kilat kuajak dua kawanku untuk menemaniku ke Singosaren. Namun, saat tiba di kios HP, aku justru kembali bimbang. Pertimbanganku, aku butuh HP cepat tanpa menguras habis isi dompet. Singkat cerita, malam itu, kuurungkan niatku membeli HP. Alasanku, HP ini harus benar-benar rusak parah sebelum aku mengganti yang baru.

Tak berselang lama setelah kubatalkan niatku, lambat laun HP-ku semakin sering me-restart dengan sendirinya. Lebih parah lagi, HP-ku tak mau hidup sejak pagi hingga siang. Nasib HP ini sudah di ujung tanduk; HP ini sedang berjuang karena kupaksa untuk hidup saat terus me-restart. Sejenak kupikir kembali, mungkin inilah saatnya.

Tak seperti kebanyakan orang yang berbahagia setelah membeli HP baru, aku justru membelinya dengan penuh keluh kesah dan resah. Kupikir aku akan menggantinya tahun depan demi menghemat uang, tetapi takdir berkata lain — HP-ku rusak lebih cepat dari yang kuprediksi.

Pagi tadi, kukeluhkan soal ini pada orang tuaku. Ayahku bertanya, “Berapaan kalau beli baru?” Kusebutkan angka. “Oh, ya sudah kalau memang harganya segitu. Lagipula, kalau buat sendiri juga nggak bisa, kan?” Aku tersenyum tipis, “Hehe, iya, sih.”

Sejak awal, orang tuaku sejatinya sudah mengizinkanku membeli HP baru. Keputusan besar ini menyita pikiranku untuk mempertimbangkan jangka waktu pemakaian, manfaat yang diperoleh, bagaimana uang itu bisa kembali, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkannya. Tapi, tak tahu mau bagaimana lagi, aku tak punya pilihan lain.

Pasalnya, hambatan HP ini sangat mengganggu aktivitasku — menulis dan menyunting naskah berita, merekam wawancara, koordinasi kelas dan jam kuliah, serta koordinasi antar-grup yang menjalankan proker kepanitiaan, semuanya berantakan. Siang tadi, misalnya, aku sampai bolos kelas karena dilakukan via Zoom, sementara HP-ku amat terbatas. Jangankan bergabung, tahu bahwa kelas dimulai siang tadi pun tidak. Saat itu, HP-ku masih me-restart sejak pagi. Hal ihwal itulah yang membulatkan keputusanku untuk mengganti HP baru.

Jadi, apakah membeli HP adalah keputusan yang tepat?

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @antiliteracy & Instagram: @naradamping