Cara Berdusta yang Benar

Han Abadie
4 min read4 days ago

--

Photo by Rhamely on Unsplash

Ada kalanya, seseorang lebih memilih untuk berdusta ketimbang berkata jujur. Dalam kasus hubungan asmara, misalnya. Ketika seorang istri bilang pada suaminya kalau dia hendak pulang terlambat lantaran ada masalah di tempatnya bekerja, yang mengharuskannya pulang agak terlambat dari biasanya. Padahal, sebetulnya dia hanya hendak menuruti ajakan bosnya untuk makan siang berdua.

Kira-kira, mengapa si perempuan harus berbohong?

Jawabannya tidak lain tidak bukan adalah karena si perempuan takut bila suaminya marah, menceraikan, bahkan bisa saja membunuhnya (meski dalam beberapa kasus ada juga yang masih memaafkannya). Sang istri tahu bahwa makan siang berduaan dengan bosnya merupakan bagian dari praktik perselingkuhan. Dia takut terhadap respon suaminya yang tidak siap dengan kejujurannya.

Kasus serupa barangkali juga terjadi saat menghadapi pertanyaan:

“Gimana nilai IP-mu semester ini?”

Saat ditanya orang tua, namun indeks prestasi Anda begitu buruk.

“Sudah paham belum?”

Saat Anda ditanya dosen setelah penjelasan yang ke-6798986445368 kalinya mengenai suatu materi.

“Apa kabar (nama seseorang)? Aku akan menikahinya.”

Saat ditanya oleh orang yang baru pulang merantau perihal gebetannya yang sebenarnya sudah lama menikah dengan orang lain.

Lalu, bandingkan dengan dua pertanyaan di bawah ini:

“Mengapa ada begitu banyak ketidaksesuaian jumlah pengeluaran dengan saldo dalam sirkulasi keuangan? Bisakah kita audit bersama-sama?”

Saat seorang pejabat negara yang korup dievaluasi.

“Bagaimana bisa bocah tiga belas tahun meninggal karena bunuh diri melompat dari jembatan kata pihak kepolisian, tapi setelah diselidiki oleh LBH, ternyata meninggalnya diduga kuat karena disiksa? Bagaimana bisa ada dua peryataan yang bertentangan? Dan kenapa malah mencari-cari pelaku yang memviralkan kasus ini?”

Saat polisi di negara yang antah-berantah dicecar oleh publik.

Pertanyaan-pertanyaan di atas—terutama dua yang terakhir—tentunya memerlukan pertimbangan yang lebih untuk mengutarakannya dengan jujur.

Memang, tak selamanya orang yang berkata dusta itu disebabkan oleh ketakutan terhadap kejujuran. Adanya kekhawatiran, manakala orang yang diberi tahu kejujuran itu tak siap dengan sebuah kenyataan yang ada pada kejujuran itu sendiri, atau tidak sanggup menerima fakta, yang kemudian dapat berakibat pada kemarahan, kecewa berat, histeris, mengamuk, membunuh, pingsan, bahkan meninggal karena syok.

Namun, rupanya ada pula kemungkinan lain, bahwa seseorang juga akan berdusta untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Nyaris mustahil pertanyaan-pertanyaan itu dijawab dengan apa adanya, karena tentunya akan sangat berisiko jika mereka dengan jujur menjawab:

“IP-ku semester ini 2.3, Bu.”

Ada kemungkinan orang tua akan kecewa berat dan bersedih karena kejujuran tersebut.

“Belum, saya kesulitan memahami, dan jika ditanya bagian mana yang belum paham, saya pun bahkan tidak memahami semuanya.”

Ada kemungkinan teman sekelas akan mencemooh dan mengecap Anda sebagai orang yang pandir.

“Dia sudah lama menikah dengan sahabatmu.”

Ada kemungkinan teman Anda akan bersedih, kecewa, atau yang paling buruk, bahkan membunuh sahabatnya sendiri.

Akan tetapi, ada risiko lain yang mungkin sedikit berbeda dengan jawaban:

“Iya, untuk itu, saya menggunakannya untuk menyawer biduan. Hanya saja, tidak saya cantumkan dalam data pengeluaran.”

Itu berarti bunuh diri jika orang itu melakukannya di Cina, karena artinya, tak lama lagi dia akan dihukum mati.

Akan tetapi, sepertinya tidak demikian di negara antah-berantah. Para koruptor paling-paling hanya dipenjara—yang tentunya di dalam penjara yang ada akses WiFi yang kencang, televisi 70 inci dan aquariumnya (mungkin). Pun itu masih ada remisi masa tahanan. Bisa dibayangkan alangkah makmur dan bahagianya koruptor di negara tersebut.

“Benar, kami yang menyiksa bocah tiga belas tahun itu, dan tentunya akan kami tindaklanjuti pula siapa yang memviralkan kasus itu, karena dia hanya akan menambah kerusakan reputasi polisi di negara ini.”

Jika kepolisian di negara entah-berantah itu menjawab dengan demikian, maka tak hanya hancur reputasi kepolisian itu, tapi juga luluh lantak. Kepolisian pun mutlak dinilai buruk secara definitif oleh seluruh warga negara (yang mampu berpikir dengan baik).

Dari sederet contoh di atas, terdapat hal yang mungkin banyak orang abaikan, bahwa dusta itu selalu membutuhkan kerjasama dua belah pihak: liar and believer, alias pendusta dan pemercaya.

Sebuah kedustaan tidak akan bekerja dengan baik apabila yang didustai tidak memercayai. Seseorang bisa saja bebas berdusta, tapi jika yang didustai tidak memercayainya, maka itu berarti dia telah gagal berdusta.

Sebab, gagal membuat orang percaya, sudah pasti juga gagal dalam berdusta, karena dapat dikatakan berhasil berdusta hanya apabila berhasil pula dalam membuat objeknya percaya dengan kedustaan tersebut.

Namun, gagal membuat objek percaya bukan berarti juga gagal dalam berkata jujur, karena berkata jujur tidak mungkin gagal. Jadi sebetulnya, mau jujur ataupun dusta, keduanya pasti akan menuntut kepercayaan pada objeknya. Bedanya dengan kedustaan, kejujuran tidak memerlukan tolok ukur keberhasilan.

Lucunya, dalam beberapa kasus, seseorang justru merasa lega setelah berbohong. Padahal, ada kemungkinan bahwa orang yang dibohongi belum tentu memercayainya, malahan bisa saja orang lain itu skeptis bahkan apatis dengan kebohongan tersebut. Orang yang skeptis, apatis, dan kritis merupakan orang yang tidak mudah dibohongi.

Sebagai contoh:

Jika Anda berkata pada teman Anda bahwa Anda bukanlah pelaku penculikan aktivis 1998, berarti Anda mesti siap dengan konsekuensi: membuat teman Anda percaya bahwa tidak termasuk dari pelaku penculikan aktivis 1998, karena tanggung jawab Anda sebagai pembohong adalah membuat teman Anda jadi memercayai Anda. Bisa dengan bukti, alibi, maupun argumen penguat saja.

Kecuali kalau, Anda memang siap dicap sebagai pembohong oleh teman Anda. Jika itu terjadi, maka musnah sudah integritas Anda, karena mereka sudah tak lagi memercayai Anda, dan salah satu hal yang paling sulit di dunia ini adalah: mengembalikan kepercayaan yang telah hilang.

Sang pendusta ulung bukanlah orang yang dicap sebagai pendusta, justru sebaliknya: dia adalah orang yang dapat dipercaya.

Jangan dibalik!

Bukan berarti orang yang dapat dipercaya adalah seorang pendusta. Mari kita lazimkan menyimpulkan sesuatu dengan baik dan benar agar budaya cacat logika tidak terus lestari.

Akhir kata, teringat sebuah pepatah:

Serapat-rapat menyimpan bangkai, pasti tercium juga.

Because no crime is perfect.

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media (X and Instagram) @antielitis