Bagaimana Orang Waras Menyikapi Tren “Marriage is Scary”

Han Abadie
Komunitas Blogger M
6 min readAug 20, 2024
Photo by Brooke Cagle on Unsplash

Belakangan, begitu ramai sebuah term di media sosial: Marriage is scary. Isu itu baru-baru ini mencuat lantaran kasus seorang tokoh publik yang—tak perlu saya sebutkan namanya—dianiaya oleh suaminya sendiri. Kasus itu menuai kekhawatiran berlebih yang berujung pada ketakutan seseorang terhadap pernikahan.

Saya begitu resah dengan jalan pikir orang-orang yang sungsang. Bahkan, beberapa di antaranya mungkin adalah teman saya sendiri. Maka, sebagai orang yang selalu berusaha menghindari kesalahan berpikir, saya merasa bertanggung jawab untuk meluruskan kekeliruan cara berpikir orang-orang.

Tak perlu bertele-tele, mari kita kaji isu ini!

Secara harfiah, dalam bahasa Inggris marriage berarti pernikahan. Maka, secara makna, pernikahan hanyalah suatu peristiwa peresmian hubungan cinta sepasang kekasih, dan itu sama sekali tidak bermakna negatif maupun positif. Itu saja, tidak lebih. Singkatnya, pernikahan ya pernikahan. Tidak ada makna buruk apalagi menyeramkan.

Dalam pelaksanaanya, lazimnya acara pernikahan diselenggarakan dengan semeriah mungkin. Malahan, acara pernikahan nyatanya identik dengan kebahagiaan, penuh dengan perayaan, makan-makan, pesta, dansa, dan euforia lainnya. Bahkan, sejumlah orang menganggap pernikahan merupakan hal yang istimewa (tentu saja) hingga mengeluarkan anggaran yang begitu besar demi memeriahkannya. Dari sini, saya justru memandang sebaliknya: marriage is happy.

Bagaimana pandangan saya? Apakah keliru?

Apabila banyak orang sependapat dengan “Marriage is scary”, saya adalah orang paling depan yang menentang pendapat itu. Alasannya, because marriage is not scary at all!

“Tidak, Han. Nyatanya banyak orang yang kehilangan kebahagiaannya setelah dia menikah.”

Iya, memang. Tentu saja banyak orang yang tak bahagia setelah menikah. Namun, nyatanya, banyak juga orang yang begitu bahagia setelah menikah.

Baiklah jika memang banyak orang kehilangan kebahagiaan setelah ia menikah.

Lalu apa? Apakah penyebab hilangnya kebahagiaan adalah karena menikah? Jika memang demikian, maka Anda pikir bahwa semua orang yang menikah berarti telah kehilangan kebahagiaan?

Salah! Sebab, akan ada banyak sekali pasutri yang murka karena tak terima pernikahannya yang bahagia itu Anda tuduh tidak bahagia.

Di benak banyak orang, sederet permasalahan rumah tangga seperti KDRT, perkelahian, drama perdebatan, stigma dapur-sumur-kasur, kehilangan teman, membersihkan tahi dan mengganti popok bayi, mendiamkan bayi yang menangis keras tengah malam, pengekangan yang berlebihan, kehilangan kebebasan (saya akan bahas ini di lain waktu), mendapat pasangan yang totaliter, dan sebagainya, itu hanyalah fakta negatif yang dibesar-besarkan. Rentetan referensi itulah yang menyebabkan seseorang kehilangan objektivitas dalam memandang pernikahan.

Lebih dungunya lagi, penyebabnya demikian bukanlah referensi yang berasal dari lingkungan hidupnya yang buruk, melainkan hanya dari video-video di medsos dan tren semata. Kita bisa melihat betapa kacaunya jalur pikir orang-orang. Berikutnya, mereka menyalahkan term “pernikahan”, bahwa pernikahan itu menyeramkan. Sebab musabab ini adalah bukti dari hasil cara berpikir yang sungsang.

Saya sama sekali tidak memungkiri adanya setumpuk konkret kasus-kasus pernikahan distopia seperti yang saya sebutkan di atas tadi. Hanya saja, kita harus jujur dan adil sejak dalam pikiran, bahwa akar persoalannya bukan pada pernikahan, melainkan kesalahan karena menikah dengan orang yang keliru.

Mengapa bisa sedemikian rumitnya?

Penyebabnya, pola pikir, sudut pandang, dogma, atau apapun itu yang melekat pada diri seseorang akan sangat dipengaruhi oleh referensi yang dia miliki. Dengan kata lain, kepercayaan bahwa marriage is scary adalah hasil dari setumpuk referensi buruk soal rumah tangga orang-orang di lingkungannya (bisa dengan mengalaminya secara langsung, atau hanya melalui cerita-cerita orang di internet). Maka, semakin banyak referensi terhadap buruknya rumah tangga orang lain, semakin buruk pula bagaimana pandangannya terhadap pernikahan.

Sampai di situ, kemampuan objektivitasnya dalam menilai atau memandang pernikahan telah sepenuhnya tersumbat. Selanjutnya, ditambah relevansi dan validasi banyak orang yang sepemahaman, pandangan terhadap pernikahan akan semakin diperburuk. Lalu, pandangan buruk itu akan terus diproyeksikan di dalam kepala mereka, yang kemudian mengonstruksi belief: pernikahan itu menyeramkan.

Rentetan sebab-akibat ini harus diakui dan disadari, bahwa itu merupakan hasil dari kekalutan seseorang dalam berpikir yang bisa berdampak luas.

Mengapa demikian?

Pasalnya, fenomena itu bisa berdampak buruk bagi orang lain. Sebagai contoh, ada seorang ibu rumah tangga yang sudah nyaman dengan keseharian yang seperti itu, tapi karena terkena doktrin bahwa rumah tangga yang dinarasikan layaknya petaka, seketika seorang ibu itu menjadi membenci pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Tidakkah terpikirkan sejauh itu?

Narasi atau alasan yang serupa itu hanyalah proyeksi dari ketakutan akan ketidaktahuan. Tidak tahu bagaimana bahagianya menikah karena tidak pernah menjalaninya sendiri, sehingga hanya bisa memproyeksikan kekhawatirannya dengan memandang miring orang yang sudah menikah. Kampretnya, tak hanya mencemooh tapi juga mendoktrin banyak orang awam bahwa pernikahan itu menyeramkan. Kemudian sambil menunggu kasus yang tidak diinginkan terjadi pada orang yang sudah menikah, maka saat itulah orang-orang keblinger ini mengungkit-ungkit,

“Apa kataku, benar, kan? Marriage is absolutely scary!”

Padahal, faktanya, orang yang sudah menikah juga banyak yang bahagia, punya penghasilan sendiri, tidak ada perlakuan KDRT, bahkan diperlakukan layaknya raja/ratu oleh kekasihnya. Bagi mereka, indahnya hubungan kekasih seperti Ali dan Fatimah, Habibie dan Ainun, Kenneth Felumlee dan Helen Felumlee, adalah hal yang utopis. Padahal memang itulah faktanya.

Sekali lagi, kausalitas problematika pernikahan itu bukanlah pada pernikahannya, melainkan kesalahan dalam pasangannya. Dengan kata lain: menikah dengan orang yang salah. Seperti yang sudah saya jelaskan di atas tadi mengenai definisi harfiah dari “marriage”, pernikahan tidak memiliki tendensi baik atau buruk, bahagia atau menyeramkan, apalagi anugerah atau petaka.

Adapun penyebab lainnya, seperti trust issue, misalnya. Atau bahasa manusianya (yang kurang lebih) berarti: mempunyai masalah terhadap kepercayaan. Biasanya, trust issue disebabkan oleh kapoknya seseorang karena kepercayaannya sudah berulang kali dirusak. Dalam beberapa kasus orang lebay, kepercayaannya telah luluh lantak lantaran baru sekali saja dikecewakan.

Saya beri contoh kisah:

Alkisah, Supadi adalah seorang pria yang baik. Dia tak pernah berselingkuh, mencaci maki apalagi berlaku keras pada wanita sama sekali. Ia tak pernah sekalipun berbuat demikian. Sesuai dengan kebaikannya, Tuhan mengaruniakannya gadis yang cantik, cerdas, semampai, nyaris sempurna. Suyatmi namanya. Sang gadis pun berjanji untuk setia mencintai Supadi dengan sepenuh hati, selamanya.

Namun tak disangka, entah apa sebabnya, cintanya kandas. Nasib, Supadi ditinggal oleh Suyatmi, lantaran Yatno (pacar baru Suyatmi) memiliki mobil Volkswagen keluaran terbaru (saat itu masih tahun 1980an). Suyatmi bilang bahwa ia akan tetap setia jika Supadi bisa membelikannya mobil serupa.

Sayangnya, apa boleh buat? Supadi hanyalah buruh dengan upah pas-pasan. Jangankan membeli mobil Volkswagen, sanggup membeli setirnya saja belum tentu ia mampu. Karena tidak mempunyai otoritas untuk mencegah kepergian Suyatmi, Supadi pun membiarkannya pergi.

Sejak saat itu, Supadi mengalami trauma berat yang berkepanjangan terhadap percintaan, dan berpikiran bahwa semua wanita akan sama saja jika berjanji. Supadi meyakini bahwa semua wanita pasti akan mengingkari janjinya. Akhirnya, hingga Supadi menua, ia pun memilih untuk membujang lapuk, menyepi, dan mati dalam keadaan perjaka karena kesepian.

Dari kisah tadi, tidakkah kita bisa menyaksikan betapa kusutnya cara berpikir Supadi?

Dia telah menggeneralisasi bahwa semua wanita di dunia ini sama saja. Belief sesat Supadi terbukti dapat menyesatkan kemudian menyengsarakan dirinya sendiri. Padahal, jelas tidak semua wanita sama halnya dengan Suyatmi.

Oleh sebab itu, jangan sampai kita bernasib seperti Supadi. Bayangan ketakutan distopia tentang pernikahan itu bagaimanapun, tak lebih dari ketakutan semata. Kesengsaraan pada pernikahan itu hanyalah kemungkinan buruk, maka, itu bukanlah keniscayaan buruk dalam pernikahan.

Berkenaan dengan orang yang memiliki trust issue terhadap pernikahan. Maka, menikah tidak direkomendasikan untuk Anda. Sebaliknya, selesaikan dahulu trust issue Anda agar tidak menjadi beban masalah dalam hubungan nanti. Sebab, bagaimanapun, itu adalah masalah dan tanggung jawab Anda sendiri, bukan kekasih Anda. Selain itu, Anda juga tak memiliki sedikitpun hak untuk mendikte apalagi mengolok-olok hubungan pernikahan.

Adapun jika ada yang memang siap dan berencana untuk tidak akan menikah hingga selamanya. Maka tidak ada yang melarang. Bebas. Hanya saja, sama halnya dengan orang yang memiliki trust issue, Anda tetap tak memiliki sedikitpun hak untuk mendikte apalagi mengolok-olok hubungan pernikahan.

Sebagai penegasan:

Marriage is not scary, marriage is marriage!

Dengan mempunyai cara berpikir yang benar, akan ada banyak sekali hal yang bisa dibenahi. Sebab, jalan pikir yang berantakan hanya akan membuat seseorang lelah dengan pikirannya sendiri, serta terus menyalahkan dunia dan seisinya, yang biasanya, juga selalu merasa bahwa dirinya lah yang paling benar. Bersih dari segala kesalahan.

Mari kita lazimkan cara berpikir yang benar dan berhenti melestarikan kecacatan logika, agar hidup menjadi lebih baik dan teratur, karena hidup yang baik dan teratur berasal dari cara berpikir yang benar.

--

--

Han Abadie
Komunitas Blogger M

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @antiliteracy & Instagram: @naradamping