Apakah Sebenarnya Kita Memang Baperan?

Han Abadie
3 min readMar 9, 2024

--

Photo by Jack B on Unsplash

Fiktif atau tidaknya cerita ini, terserah pembaca untuk berasumsi bebas!

Alkisah, saya mempunyai seorang teman. Ia adalah orang yang gemar bercanda dengan teman circle-nya, namun bercanda yang dimaksud di sini bukanlah bercanda seperti orang yang yang ala kadarnya untuk beria-ria saja. Melainkan suatu candaan yang memang ia sengaja lakukan untuk memicu konflik. Sebutlah ia: Si Lucu.

Sebagai contoh:

Bayangkan saja Anda sedang bercengkrama dengan rekan circle Anda, lantas Si Lucu ini datang, dan kemudian saat lewat dibelakang Anda, tiba-tiba dia menempeleng kepala Anda tanpa alasan, di saat Anda sedang menikmati hidup tentram bersama rekan-rekan Anda. Manusia yang mempunyai otak sehat tentu saja tidak akan terima apabila diperlakukan demikian.

Siapa gerangan orang yang suka ditempeleng kepalanya? (Jika ada, maka berhentilah membaca tulisan ini!)

Baiklah, masih tidak apa-apa jika orang tersebut kemudian langsung minta maaf setelah melihat kita berang diperlakukan seperti itu. Tapi ini tidak!

Tahu apa responnya?

Dia mengatakan, "Yaelah baperan amat cuma gitu doang!"

Can you imagine that?

Begini, Si Lucu yang suka bercanda tersebut tampaknya merasa bahwa status sosialnya lebih tinggi daripada temannya yang diperlakukan demikian. Ia bertindak sewenang-wenang dengan status sosialnya.

Maaf, sebutan "Si Lucu" tampaknya terlalu lembut. Mari kita sebut orang ini Si Bajingan Tolol saja!

Si Bajingan Tolol tersebut juga menyalahgunakan diksi "baperan" dengan semena-mena. Sebenarnya saya cukup resah dengan pencetus kosa kata ini, walaupun kosa kata ini mempermudah saya dalam menyebut istilah untuk orang yang rentan hati atau mudah tersinggung, dan orang yang terlalu mudah jatuh cinta saat bertemu dengan lawan jenis (atau orang homo barangkali). Untuk efisiensi istilah, tentu tidak ada salahnya, bukan?

Tapi di sisi lain, kosa kata ini dapat menjadi sangat meresahkan. Sebab orang yang otoriter akan kecanduan menggunakan diksi ini saat menanggapi orang lain yang sakit hati karena candaan sampah itu. Bajingan tolol memang.

Baik, saya sertakan contoh lain:

Bayangkan saja, Anda berkulit hitam, wajah Anda jauh dari kata mulus, tubuh Anda pendek, dan rambut Anda keriting.

Saat teman Anda sedang melontarkan lelucon dan punchline, umumnya yang mendengarnya pun menterawakan dan kadang ada juga menambah punchline untuk menambah gelak tawa. Tapi ketika Anda yang menambahkan punchline, alih-alih menambah gelak tawa, justru yang terjadi adalah: Si Bajingan Tolol ini mengatakan, "Apasih, bacot banget freak lu item, kotor, pendek, dekil. Mendingan lu diem aja udahlah!"

Saya beri disclaimer:

Sedikitpun saya tidak menganggap bahwa ciri-ciri tersebut jelek, buruk ataupun negatif. Tidak sama sekali! Namun kriteria tersebutlah yang menjadikan orang tersebut sebagai bahan objek untuk dihina dan diolok-olok oleh Si Bajingan Tolol ini, bukan? Tampak ada standar tertentu yang diterapkan oleh masyarakat di kalangan kita (saya akan bahas topik ini di tulisan lain).

Apakah aneh ketika kita marah karena membela diri dari hinaan? Apakah tidak wajar ketika dicela sedemikian rupa sehingga tidak terima?

Lantas kenapa Si Bajingan Tolol ini menanggapi amarah kita yang dipicu olehnya dengan, "Yaelah baper, ya? Dih, gitu doang baper. Dasar baperan!"?

Kisah-kisah yang saya cantumkan di atas mungkin saja berlebihan, tapi mungkin juga apa adanya.

Kosa kata itu benar-benar telah digunakan secara tidak bijaksana. Ucapan itu bisa sangat jahat bagi orang yang diolok-olok kemudian marah tidak terima.

Apakah ketenggangan rasa dan empati sudah tiada lagi?

Mengutip dari serial drama Korea—yang saya lupa entah apa judulnya, di mana diucapkan oleh aktor pada adegan saat melihat kakaknya dirundung oleh temannya—yaitu:

Bercanda adalah ketika kedua belah pihak merasa senang.

Saya akan tutup tulisan ini dengan pertanyaan:

Apakah kisah-kisah serupa di atas yang terjadi di dunia nyata, menunjukkan bahwa kedua belah pihak merasa senang?

Maka hanya pemilik nurani sehat lah yang dapat menjawabnya. Sebab jika saya boleh berpendapat, maka pendapat saya adalah:

Orang-orang seperti Bajingan Tolol ini perlu untuk lebih dibina lagi—dibinasakan.

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media (X and Instagram) @antielitis