Mengapa Harus Paham Peran dan Sejarah Jurnalisme?

Han Abadie
4 min readSep 15, 2024

--

Photo by Ewan Robertson on Unsplash

Semenjak maraknya disrupsi di era digital, minat masyarakat terhadap berita media massa, baik di kalangan anak muda maupun orang tua, kian melorot. Sebagai gantinya, banyak orang lebih memilih mendapatkan informasi dari pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer), yang menyajikan konten dengan cara yang lebih mudah dicerna tanpa mematuhi disiplin dan kode etik jurnalistik sebagaimana yang diterapkan oleh media massa.

Awalnya, teori Hypodermic Needle masih relevan. Media massa dianggap mampu “menyuntikkan” pengaruh langsung ke pikiran komunikan (publik) yang pasif. Namun, dengan pesatnya perkembangan teknologi, terutama dengan munculnya media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X (dulunya Twitter), peran media massa mulai berubah. Teori Uses and Gratifications telah menggeser teori sebelumnya dengan menekankan bahwa pengguna media kini lebih aktif dalam memilih konten yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Itu artinya, masyarakat tak lagi bergantung pada media massa tradisional seperti televisi dan radio untuk memperoleh informasi.

Fenomena ini bisa berarti sebagai kemajuan, tetapi juga menyimpan risiko. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin cerdas dalam memilah-milah informasi dari berbagai sumber, sehingga memungkinkan masyarakat untuk lebih kritis. Namun, di sisi lain, akses ke berbagai kanal dan platform ini membuat beberapa orang rentan terhadap berita hoaks dan fanatisme, karena informasi yang beredar di media sosial seringkali tak mematuhi kaidah dan kode etik jurnalistik, sehingga tak ada jaminan atas kredibilitas dan tanggung jawabnya.

Di tengah menjamurnya pemengaruh dan buzzer yang gemar memproduksi narasi yang tidak bertanggung jawab dan seringkali terdistorsi, jurnalisme hadir sebagai alat penyaring informasi, membedakan antara mana yang fakta dan mana yang dusta. “Apa privilesenya menjadi jurnalis? Kamu bisa duduk di kursi paling depan, melihat sejarah dibangun,” begitu kutipan dari film dokumenter Terpejam Untuk Melihat karya Mahatma Putra. Jurnalis, adalah orang pertama yang meliput peristiwa atau fenomena yang kemudian disebarluaskan kepada publik. Mereka memainkan peran vital dalam memastikan bahwa sejarah yang tercatat adalah sejarah yang benar. Agar lebih mudah dipahami, saya beri ilustrasi singkat:

Di sebuah negara yang sedang mengadakan Pemilu, seorang jurnalis bernama Suripto ditugaskan meliput proses pemungutan suara di sebuah daerah X. Saat dia tiba di TPS, Suripto melihat suatu keganjilan: kotak suara yang semestinya kosong saat mulai dibuka, ternyata sudah terisi sebagian. Tak hanya itu, di hari sebelumnya pun, dia juga menyaksikan sejumlah orang asing berseragam yang sedang membagi-bagikan amplop dengan berkeliling desa. Namun, anehnya, hanya rumahnya yang tak datangi oleh mereka. Padahal, tetangga sebelah kanan dan kiri rumahnya juga mendapatkan amplop, beras, dan kaus.

Suripto, dengan kamera dan buku catatan di tangan, mulai mendokumentasikan setiap kejadian. Dia mewawancarai beberapa pemilih yang mengaku dibujuk untuk memilih kandidat tertentu dengan sogokan beras. Kata tetangganya, “kalau mau beras sama kaus, pilih paslon nomor 07! Habis itu desa ini juga aspalnya mau ditambal kalau milih paslon 07.”

Di luar perhitungan, pada hari hasil pemilu diumumkan, kandidat paslon yang disebutkan tetangganya tempo hari itu ternyata memenangkan suara terbanyak. Tapi, berkat laporan Suripto yang dipublikasikan di media tempatnya bekerja, serangkaian kecurangan itu terungkap.

Akibatnya, protes massa mulai bermunculan, penyelidikan dilakukan, dan ternyata, rentetan kasus serupa juga terjadi di banyak daerah, nyaris di seluruh penjuru negeri. Demonstrasi yang begitu masif pun meletus. Rakyat pun menuntut hasil pemilu dibatalkan.

Dalam kisah tadi, peran jurnalis seperti Suripto menjadi sangat vital. Tanpa keberanian dan integritas Suripto, kecurangan tersebut mungkin akan luput dari perhatian, dan sejarah akan mencatat adanya hasil pemilu yang buruk di negara tersebut. Itulah peran jurnalis: memberikan tempat suara kepada yang suaranya diabaikan, melihat apa yang tidak terlihat oleh banyak orang, dan memastikan bahwa sejarah yang tercatat adalah sejarah yang sesungguhnya.

Berkaca pada persoalan yang dibahas di atas, meski para pemengaruh memiliki banyak pengikut di media sosial, jumlah tersebut tidak serta-merta dapat menjamin kredibilitas atau tanggung jawab dari apa yang mereka sebarkan. Akun-akun repost atau buzzer sering kali hanya mengejar sensasi untuk mendongkrak engagement rate, yang kemudian dimanfaatkan untuk endorsement dan keuntungan finansial pribadi. Konten semacam itu mungkin ramai peminat, tapi malah menunjukkan rendahnya kualitas literasi media di kalangan masyarakat kita.

Oleh karena itu, literasi media harus digenjot dan digencarkan agar masyarakat tidak terus terdistorsi oleh informasi palsu dan tidak lagi tergiring oleh opini-opini yang menyesatkan. Ingat prinsip dasar ekonomi: supply and demand. Adanya penyedia karena adanya permintaan. Maka dengan menurunnya permintaan dari masyarakat terhadap informasi yang terdistorsi, akun-akun pemengaruh yang tidak bertanggung jawab akan lenyap dengan sendirinya.

Masyarakat harus terus dilatih untuk lebih kritis dan bertanggung jawab atas informasi yang mereka konsumsi. Mereka perlu berpuasa menuruti egonya yang malas bersikap kritis dan terus berlatih untuk mengkritisi paparan-paparan berita yang bertebaran.

Pada akhirnya, memahami peran jurnalisme dalam sejarah akan membuat masyarakat lebih menghargai dan menghormati usaha yang dilakukan untuk mendapatkan dan mempublikasikan informasi yang akurat. Dengan demikian, masyarakat akan terhindar dari hoaks dan tidak lagi menjadi korban distorsi informasi. Alasannya, dengan membiasakan bersikap kritis, meskipun kita berada di tengah lautan informasi yang beredar, media massa akan tetap — dan terus — menjadi main source yang dapat diandalkan untuk memverifikasi kebenaran informasi.

Dalam artikel yang saya lombakan, opini ini berjudul:

Alasan Memahami Peran Jurnalisme dalam Sejarah Penting di Era Disinformasi

--

--

Han Abadie

A Possibilist. Just like the average mediocre youth, sometimes naive as well. You can follow my another social media X: @antiliteracy & Instagram: @naradamping